Dua buku berkualitas karya Forum Lingkar Pena Malang

"Ada Kisah di Setiap Jejak" adalah buku kumpulan kisah nyata inspiratif, dan "Perempuan Merah dan Lelaki Haru" adalah buku kumpulan cerpen berkualitas. Hanya dijual online.

Ebook Gratis - Seminar - Workshop

Download Gratis Ebooknya di http://pustaka-ebook.com/pnbb-e-book-15-8-rahasia-sukses-ujian-nasional

Kebahagiaan dan Kedamaian Hati tergantung Keputusan Anda Sendiri

Kami hanya bisa membantu pribadi-pribadi yang mau berubah dan bersedia dibantu

Kripik untuk Jiwa - Renyah Dibaca, Bergizi dan Gurih Maknanya

Buku ringan berisi kiat-kiat mudah berubah menjadi bahagia dan membahagiakan

Inspirasi - Harmoni - Solusi

Berbagi inspirasi ... Membangun keselarasan ... Menawarkan solusi

Kamis, 15 September 2022

Bullying - Tak Bisa Dilupakan tapi Harus Diikhlaskan

Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang pendiam, jalannya lempeng dengan pandangan lurus ke depan, tidak melihat kanan-kiri? Orang yang tidak mau membalas senyum Anda, melengos, enggan menegur Anda saat bertemu. Saat Anda berusaha mengajaknya ngobrol dia hanya menjawab singkat, seakan berusaha secepatnya menyudahi obrolan, hanya memandang Anda sekilas.

Anda mungkin menganggap orang tersebut sombong, atau angkuh...

Sebenarnya dia sama sekali tidak sombong, justru sebaliknya. Dia sangat rendah diri.

Kesombongan yang terlihat hanyalah cara dia untuk menghadapi ketakutannya.

Dia tidak membalas senyum Anda karena ragu apakah senyum itu untuknya. Dia merasa tidak layak mendapatkan senyuman Anda, maupun dari semua orang. Dia takut dianggap ke-GR-an.

Dia enggan berkomunikasi dengan orang lain, meskipun sangat menginginkannya, karena merasa tidak pantas. Dia tidak tahu harus membicarakan apa dengan orang lain, selalu takut akan mengatakan hal-hal yang dianggap bodoh dan akan ditertawakan, atau sebaliknya, khawatir mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan, atau kata-kata membosankan yang tidak menarik. Dia sendiri mudah tersinggung, seringkali merasa diejek atau jadi sasaran ejekan, padahal belum tentu juga dia yanng dituju, atau belum tentu kata-kata yang dia dengar adalah bermaksud mengejeknya. Pokoknya dia selalu berpikir negatif kepada orang lain.

Apakah karena dia intovert?

Hmmm...Dia suka berada di kerumunan orang banyak, meskipun berusaha tidak terlihat dan lebih suka diabaikan kehadirannya. Dia merasakan lebih bersemangat bersama banyak orang, dan merasa tertekan saat harus sendirian di suatu tempat. Ketika sedih atau galau dia akan keluar ke tempat-tempat umum, meskipun tidak berinteraksi dengan satu orang pun. Sepertinya ciri-ciri itu menunjukkan bahwa dia seorang extrovert, bukan introvert.

Mengapa dia bisa begitu?

Karena trauma masa lalu. Dia korban bullying. Perundungan.

Dia lahir dengan jidat keluar lebih dulu sehingga bentuk kepalanya jadi aneh. Peang. Seperti penderita hydrosefalus.

Sejak kecil dia sering diejek, atau dikomentari, atau menerima tatapan mata geli dari orang-orang yang heran melihat kepalanya yang aneh.

“Lihat anak itu...Kepalanya aneh...”

“Ndase koyok tempe...”

“Hey...Ndas gentong!!”

“Motone mendolo...”

Orang tua mengometari bentuk kepalanya yang aneh, anak-anak mentertawakannya. Banyak juga teman-teman sebaya yang mengganggunya secara fisik.

Bertahun-tahun dia merasakan itu. Sehingga membentuk mentalnya jadi sangat rendah diri. Begitu dahsyat pengaruh perundungan terhadap mentalnya.

Dia adalah saya. Korban perundungan di masa kecil, yang mampu memperbaiki diri.

Semua itu masa lalu. Perundungan itu saya alami saat kecil dan menjelang remaja. Namun dampaknya saya rasakan sampai dewasa. Entah kenapa, saya tidak pernah mengeluhkan yang saya rasakan kepada Bapak dan Ibu. Mungkin karena saya kasihan kepada mereka, sudah terlalu lelah bekerja. Saya telan sendiri semuanya.

Saya tidak menyesalinya, justru bersyukur terhadap segala apa yang pernah saya alami. Sekarang saya jadi lebih mempunyai empati terhadap para korban perundungan di masa kecil, karena mengalaminya sendiri. Empati itulah senjata utama saya untuk membantu mereka menjadi lebih baik dan bahagia. Mampu memandang masa depan dengan optimis, menjalani hidup dengan percaya diri.

Wahai para orang tua, jangan remehkan perundungan yang dialami anak-anak Anda. Sekecil apapun sangat menyakitkan bagi mereka. Melukai mental. Membekas. Mereka butuh tindakan khusus untuk menyembuhkan luka itu, serius.

Jangan minta anak-anak Anda melupakan perundungan yang mereka alami. Itu bukan solusi, justru berpotensi membebani jiwa mereka dalam alam bawah sadarnya. Luangkan waktu lebih banyak untuk mendampingi mereka, ajak bicara, dengarkan. Jangan terlalu banyak menceramahi mereka, jangan sok tahu perasaan mereka sebelum Anda mendengar lebih banyak.

Wahai para korban perundungan, jangan simpan luka Anda! Terima, bersihkan, dan ikhlaslah. Anda tidak perlu melupakan peristiwa itu, karena akan tetap jadi masa lalu Anda, selamanya. Terima saja, akui. Maafkan semua orang yang berkontribusi dalam perundungan itu, ikhlaskan. Memang berat, tapi hidup Anda jadi lebih berat jika tidak ikhlas.

Saya korban perundungan, sekarang saya bahagia. Kalau saya bisa, Anda pasti bisa. Saya siap membantu.

Senin, 05 September 2022

Pelayanan Prima - Menerjang Batas

 



“Pak Dian, Pak Fulan mau ketemu Bapak” Si Cantik menemui saya.

“Maaf, saya tidak bisa menemuinya sekarang. Sampaikan saja padanya 3 pesan saya. Pertama, tolong dia pasang ucapan terima kasih kepada perusahaan kita di media cetak tentang pelayanan yang sangat baik. Yang kedua, jangan sampaikan ke siapapun masalah dia ini karena layanan ini hanya untuk dia sekali saja. Yang ketiga, bila dia menghadapi masalah yang sama seperti ini saya tidak lagi bisa bantu.”

Pak Fulan (nama disamarkan, dan juga karena saya lupa hehehe) adalah pelanggan kami yang mendapat masalah sehingga mengalami kerugian puluhan juta. Seperti yang saya sampaikan dalam ‘Pelayanan Prima – Empati’, saya menemukan celah untuk membantu dia terhindar dari kerugian, meskipun secara prosedur itu hampir tidak mungkin bisa dilakukan karena ada unsur kelalaian dia juga.

Saya menemukan fakta bahwa ada sedikit prosedur yang terlewati, tidak dilakukan perusahaan kami. Sebenarnya bagi pelanggan normal, terlewatinya prosedur itu tidak akan menimbulkan masalah. Namun bagi Pak Fulan tidak demikian. Dia bukan pelanggan biasa. Dia adalah pelaku bisnis yang menggunakan produk kami sebagai komoditas bisnisnya. Meskipun dia melakukan kelalaian, ada sedikit hak yang tidak dia dapatkan.

Fakta itulah yang jadi alasan saya meminta perlakuan khusus untuk Pak Fulan sebagai solusi masalahnya. Perlakuan khusus ini memang tidak sesuai prosedur, tapi tidak ada potensi kerugian pada perusahaan. Saya pun membuat surat resmi kepada pimpinan di kantor pusat. Saya sampaikan kronologi masalahnya dengan detil disertai argumentasi yang jelas.

Beberapa hari kemudian surat saya dijawab pimpinan, dan pengajuan saya disetujui. Alhamdulillah. Saya minta tolong si Cantik untuk menghubungi Pak Fulan guna menyampaikan kabar baik itu. Ternyata Pak Fulan datang ke galery kami. Saya enggan menemuinya karena merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengannya. Selain itu saya mengira dia akan memberi saya sesuatu sebagai tanda terima kasih yang pantang bagi saya untuk menerimanya.

Benar perkiraan saya. Malam harinya ponsel saya berdering, nomor tidak dikenal.

“Selamat malam, dengan Pak Dian?” Suara laki-laki.

“Benar Pak, saya Dian”

“Saya Fulan Pak...Terima kasih banyak sudah dibantu” Wah si Cantik sepertinya memberikan nomor saya kepada Pak Fulan. Saya juga lupa berpesan untuk tidak memberikan nomor saya kepadanya.

“Sama-sama Pak Fulan. Saya senang bisa membantu Bapak”

“Maaf Pak Dian, tolong kirimkan nomor rekening Bapak...”

Saya menolak permintaannya. Dia memaksa, menurutnya itu suatu hal yang lumrah. Saya pun menjelaskan kepadanya bahwa semua yang saya lakukan adalah kewajiban saya, dan saya sudah mendapatkan imbalan dari perusahaan. Saya sampaikan ke dia agar rasa terima kasihnya diwujudkan dengan melaksanakan 3 pesan yang saya titipkan ke si Cantik.

“Ya sudah kalau Pak Dian tidak mau menerima. Tapi lain kali kalau butuh sesuatu bilang ke saya ya Pak. Barangkali saya bisa membantu”

Pelayanan prima bukanlah pelayanan yang sekadar menjalankan SOP, kaku. Dalam setiap masalah yang dialami pelanggan selalu ada detil-detil unik yang kadang-kadang bersifat anomali. Keunikan itulah yang bisa jadi dasar kita untuk sedikit ‘melanggar’ prosedur baku, sedikit keluar dari batas.

Sebenarnya saya bukan sekali ini saja terpaksa tidak menjalankan SOP demi pelayanan prima kepada pelanggan, dengan berbagai kasus yang berbeda. Namun hanya kasus ini yang melibatkan pimpinan pusat. Yang lainnya saya putuskan sendiri.

Saya berkeyakinan, selama tidak mengandung 3 unsur, kita boleh melanggar prosedur demi pelayanan prima.

Unsur tersebut adalah :

  1. Merugikan perusahaan
  2. Merugikan pelanggan
  3. Menguntungkan diri sendiri secara pribadi

Ketiga unsur inilah yang jadi pembeda tegas, antara pelayanan prima yang melanggar SOP dengan perilaku ‘hengki pengki’.

Oleh karena itulah saya menolak hadiah tanda terima kasih secara pribadi. Saya tidak mau hadiah-hadiah itu mengotori hati nurani.

Ada orang yang berpendapat bahwa menerima hadiah tanda terima kasih bukanlah tindakan korupsi, asal tidak memintanya dan tidak ada perjanjian sebelumnya.

Saya berbeda pendapat. Sekali saya melakukan unsur ketiga itu, maka akan tergoda untuk terus melakukannya. Maka saya pun akan mengabaikan larangan unsur pertama dan kedua, demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tidak ada keuntungan pribadi dalam pelayanan prima, karena harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas.

Sekarang, sebagai freelancer, tidak lagi terikat pada perusahaan, saya bebas menerima hadiah. Sebagai freelancer saya tidak lagi terikat larangan pertama dan ketiga, karena saya adalah perusahaan. Perusahaan yang harus diuntungkan asal tidak merugikan pelanggan, karena unsur kedua masih berlaku.


Kamis, 01 September 2022

Pelayanan Prima - Empati

Belasan tahun yang lalu, di suatu siang seorang anggota tim frontliner mendatangi saya, “Pak...ada pelanggan mau bertemu Bapak langsung, nggak mau pergi sebelum ketemu Bapak...”

Saya tersenyum memandang wajah cantiknya yang tampak jengkel bercampur cemas. Sembilan belas tim frontliner memang cantik dan pintar, memenuhi kriteria 3B (Brain, Beauty, Behavior), ada di bawah tanggung jawab saya termasuk untuk menjaga emosi dan kesehatan mental mereka.

“Apa yang terjadi...?” Saya bertanya dengan tetap senyum semanis mungkin. Saya yakin senyum saya bukanlah senyum genit, semoga demikian.

Maka dia pun menjelaskan masalah yang dialami oleh pelanggan, menceritakan apa yang sudah dia sampaikan kepada pelanggan tersebut, dan sambil merengut menyampaikan kegagalannya mengatasi masalah tersebut. Masalahnya sangat rumit, dan saya juga ragu akan bisa membantu pelanggan tersebut, tapi saya harus menyelesaikannya.

“Persilakan dia masuk ke ruang VIP, saya akan segera turun menemuinya...”

Si cantik pun turun dengan wajah yang sedikit agak lega. Saya sangat memahami kegundahan hatinya. Bayangkan saja sejak pagi dia harus menerima keluhan dari puluhan pelanggan yang datang ke galery pelayanan kami. Saya harus membantunya menyelesaikan masalah, membuatnya tenang sehingga bisa menangani pelanggan yang lain dengan tetap ramah dan manis.

Saya turun dan langsung menemui pelanggan, tersenyum menyalaminya dan memperkenalkan diri. Dia seorang pria seusia saya berpakaian kemeja sederhana, tipikal pengusaha menengah. Setelah saya persilakan duduk kembali, hanya dengan bertanya  “Bagaimana Pak...Apa yang bisa saya bantu...?”, dia sudah membanjirkan keluhannya. Saya hanya mendengar dengan ekspresi yang kuat, menunjukkan bahwa saya sangat memerhatikan masalahnya. Sesekali saya mengulang kata-katanya untuk meminta kepastian.

Saat dia berhenti bicara saya bertanya mengenai beberapa hal yang kurang jelas dari ceritanya, saya harus yakin sudah menerima semua detil masalah tanpa ada potongan yang tercecer. Sambil mendengarkan, pikiran saya juga berputar mencari berbagai alternatif solusi yang bisa saya tawarkan kepadanya.

Dari uraian panjangnya, awalnya saya menyimpulkan bahwa kalau mengikuti SOP (Standard Operational Procedure) saya tidak mungkin bisa membantunya, dan itu sudah disampaikan oleh si cantik kepada saya. Saya sampaikan hal tersebut kepada pelanggan, bahwa kerugian yang dia dapatkan karena kesalahannya sendiri, tentu saja dengan cara dan bahasa yang santun.

Namun saya yakin punya sesuatu yang bisa membantunya, maka saya beri dia ruang untuk membela diri, memancing semua argumentasi darinya. Sengaja saya lakukan hal tersebut karena yakin masih ada serpihan fakta yang belum saya dapatkan dari cerita panjangnya.

Ternyata benar, setelah berdiskusi beberapa menit, saya berhasil menemukan satu fakta yang bisa menjadi celah cahaya untuk menerangi jalan keluar bagi masalahnya. Saya sampaikan kepadanya bahwa akan melakukan ikhtiar maksimal agar bisa menyelesaikan masalahnya, dan memintanya untuk berdoa. Tapi saya juga menyampaikan bahwa tingkat keberhasilan ikhtiar saya adalah 50-50, bisa berhasil bisa tidak, dan saya minta dia siap menghadapi kemungkinan terburuk.

Dia bisa menerimanya, menyalami saya “Tolong ya Pak...!”, dan pergi. Alhamdulillah masalah besar sudah terselesaikan. Selesai...? Ya iya lah...Masalahnya tadi khan pelanggan itu tidak mau pergi, dan saya berhasil membuatnya pergi tanpa mengusirnya, dan membuatnya memiliki harapan menghadapi masalah.

Mohon maaf saya tidak bisa menceritakan detil masalah yang dialami pelanggan tersebut karena sangat sensitif terhadap kepentingan perusahaan, dan juga tidak penting untuk dibahas.

Pelanggan yang datang dengan masalah karena menganggap kita bisa membantunya, dan itu harus dipenuhi dulu. Bisa menyelesaikan atau tidak, kita harus menunjukkan dengan tulus kepadanya bahwa kita siap membantu. Dengan tulus...tidak sekadar menyampaikan kata-kata yang sudah kita hapal “kami siap membantu”. Kita harus bisa meyakinkan pelanggan bahwa kita sudah menampung semua detil masalahnya, semuanya sedetil mungkin. Untuk melakukannya kita harus benar-benar menghadirkan diri seutuhnya, pikiran dan hati, di hadapan pelanggan. Kita harus mampu menampung masalahnya secara logika maupun emosi. Itulah yang disebut empati.

Apakah saya berhasil membantu pelanggan tersebut? Apa yang harus saya lakukan ketika pelanggan itu akan memberi saya imbalan yang besar untuk penyelesaian masalahnya? (bersambung)


Rabu, 31 Agustus 2022

Pak Saelan - Sosok Umar Bakri

Saelan...Nama dalam satu kata. Kami memanggilnya Pak Saelan. Guru kami kelas enam di SDN Jemberkidul 1 (sekarang SDN Kepatihan 1), di Kabupaten Jember. Seingat saya, sejak saya masuk SD, Pak Saelan selalu menjadi guru kelas enam. Setelah saya lulus SD, saya tidak tahu apakah beliau tetap mengajar kelas enam atau sempat mengajar kelas lain.

Waktu masih kelas 5 saya sering mendengar rumor, dulu istilahnya pergunjingan, tentang beliau sebagai guru killer. Angker. Waktu itu saya takut membayangkan akan diajar beliau di kelas enam. Serem.

Saat kelas enam, diajar beliau, saya jadi bingung dan heran. Apanya yang killer...? Mananya yang angker..? Saya justru sangat menikmati cara beliau mengajar.

Sosok Inspiratif 

Beliau memang bukan guru yang ramah. Hampir tidak pernah senyum, apalagi tertawa. Disiplin waktu. Tiada hari tanpa ulangan. Namun saya rasakan keikhlasan yang sangat kuat dari sikap-sikapnya tersebut. Saya merasa bahagia di kelas beliau, dan saya yakin itu disebabkan pancaran gelombang kebahagiaan beliau, meskipun tanpa senyum.

Saya sangat terkesan pada cara beliau mengajar, metodenya unik. Mungkinkah saya terkesan karena waktu itu hampir selalu mendapatkan kepuasan meraih nilai tertinggi? Untuk setiap ulangan, setiap hari. Atau sebaliknya, keberhasilan meraih nilai tertinggi yang saya raih karena senang pada cara beliau mengajar, karena saya menikmati proses belajar?

Entahlah. 

Yang pasti sejak diajar beliau saya jadi bercita-cita jadi guru. Sejak itu saya jadi sering  membayangkan betapa bahagianya bila bisa berbagi ilmu kepada orang lain. Saya jadi sering membayangkan kebahagiaan jadi guru yang mencurahkan hidupnya untuk membimbing anak-anak, membantunya merajut masa depan. Sosok Pak Saelan yang menginspirasi cita-cita saya.

Sejak merasakan kelas Pak Saelan saya juga jadi suka mengamati cara mengajar guru. Seringkali saya membuat catatan tentang kelemahan-kelemahan metode pengajaran guru, dan membuat rekomendasi perbaikannya. Catatan pribadi, untuk kepentingan sendiri yang mungkin berguna ketika saya menjadi guru.

Namun sayangnya, Ibunda kurang setuju bila saya memilih profesi sebagai guru. Alasan utamanya adalah masalah ekonomi. Ibunda ragu seorang guru bisa cerah masa depannya. Saya patuh kepada Ibunda. Namun, meskipun tidak secara formal jadi guru, sampai sekarang saya selalu berusaha menggunakan kesempatan yang ada untuk mendapatkan kebahagiaan dengan berbagi ilmu, membimbing orang lain menjadi lebih baik, lebih bahagia.

Sosok Umar Bakri

Bagi saya Pak Saelan adalah ‘Umar Bakri’ yang sebenarnya. Waktu mengajar kami dulu motor Pak Saelan sudah tua, butut. Motor Pak Saelan tidak bisa melewati genangan air, pasti mogok. Padahal kalau musim hujan jalanan di sekitar rumah beliau sering terendam air. Maka beliau pun berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda kumbang. 

Mendekati Ujian Nasional Pak Saelan memberi kami tambahan kelas di sore hari, les bimbingan belajar gratis. Di kota kami waktu itu seringkali hujan turun siang hari, dan ketika sore hujan reda. Bila siang hujan, sorenya Pak Saelan sering terlambat datang ke sekolah, karena harus mengayuh sepeda kumbang dari rumahnya yang lumayan jauh jaraknya dari sekolah. Kami yang sudah hadir semua dari halam sekolah akan memandangi datangnya Pak Saelan dengan sepeda kumbangnya. Mungkin beberapa orang teman ada yang memandang kedatangan Pak Saelan dengan perasaan kecewa karena les tidak jadi libur. Sedangkan saya saat itu, selalu memandang Pak Saelan di atas sepeda kumbangnya sebagai sosok Umar Bakri sejati, keren...Citra itu melekat dalam benak saya sampai saat ini.

Sosok Istimewa

Sampai saat ini Pak Saelan tidak tergantikan dalam benak saya. Sosok guru sederhana yang mendedikasikan hidupnya untuk mendidik. Saya sangat menghargai semua guru yang pernah mengajar saya. Saya yakin semua guru sudah ikhlas mengajar dan mendidik saya. Namun bagi saya Pak Saelan yang paling istimewa.

Pak Saelan manusia biasa, yang juga punya banyak kelemahan, kesalahan. Salah satunya adalah kebiasaan beliau merokok di dalam kelas. Beliau bisa menghabiskan berbatang-batang rokok setiap hari di dalam kelas. Kebiasaan yang saya benci. Saya sangat anti rokok, dan sulit untuk menghargai orang yang merokok di depan saya, bahkan kepada kerabat yang lebih tua sekalipun. Namun khusus untuk Pak Saelan saya bersikap beda. Saya tidak pernah mempermasalahkannya. 

Setiap kali mengenang Pak Saelan yang saya ingat adalah kesederhanaan dan komitmen mengajar yang tinggi. Semoga semua ilmu yang saya dapat dari beliau, inspirasi dan motivasi yang saya rasakan, menjadi amal jariyah untuk beliau. Pahala yang akan terus mengalir bagi beliau, sehingga membuat beliau mendapatkan kebahagiaan di alam kubur.


Rabu, 06 Desember 2017

Sabar, Kekuatan Besar Pemadam Api Kemarahan

Sejak dahulu saya selalu salut dan kagum kepada orang-orang yang sabar.


Sejak kecil, dengan segala dinamika dan pengalaman (akan saya ceritakan pada kesempatan lain), saya adalah pribadi yang temperamental. Konyolnya, dulu saya bangga menjadi orang yang pemarah. Dengan pemahaman yang sempit dulu saya menganggap bahwa orang pemarah sehingga ditakuti (lebih tepatnya dijauhi sih...) orang itu gagah dan keren. Sekali lagi karena kegagalan memahami, saya anggap diri saya keren seperti Umar bin Khattab ra atau Pak Sakerah yang garang. Di kemudian hari saya sadar bahwa ternyata Umar bin Khattab bukanlah pribadi pemarah yang temperamental, atau marah secara sembarangan, tapi seorang yang tegas menghadapi kemungkaran sehingga dijuluki Al Faruq. Sedangkan Pak Sakerah ternyata juga bukan tokoh putih yang patut jadi teladan.

Terapi jiwa, Terapi Emosi

Semakin dewasa saya semakin merasakan derita kemarahan. Dari diri sendiri, saat marah saya rasakan beberapa organ tubuh tidak bekerja dengan benar : kepala pusing berdeyut, dada berdebar, persendian kaku dan pegal, mata panas, nafas tersengal. Dan ternyata butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengembalikan kondisi badan menjadi normal kembali. Umur semakin bertambah, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menormalkan tubuh akibat kemarahan.

Akibat yang lebih merusak dari kemarahan adalah yang dirasakan orang-orang di sekeliling saya, lingkungan sekitar,  orang-orang yang saya sayangi. Di awal pernikahan dulu rumah tangga saya dihiasi oleh suara keras bentakan dan air mata tangisan, bentakan saya versus tangisan istri. Sejak Coqi (anak sulung) lahir saya sudah menerapkan pendidikan yang tegas (lebih tepatnya : keras) kepadanya, suatu pilihan langkah yang fatal. Sampai saat ini Coqi memiliki kelemahan mental gara-gara sikap keras saya, atau mungkin lebih cocok disebut cedera mental. Dia selalu mati gaya, salah tingkah, bila menghadapi orang lain saat berada di dekat saya dan ibunya, tidak mampu bersikap normal apa adanya. Sementara bila merasa tidak sedang kami awasi dia bisa bebas berekspresi dan sikapnya sangat positif. Sampai saat ini Ibunda saya enggan menegur saya, masih menganggap saya sekeras dulu. “Aku mending ngomong ke kamu...Aku tidak ingin menimbulkan dosa pada Dian karena membantahku...” begitulah kira-kira yang disampaikan Ibunda kepada istri saya. Ibunda mungkin sudah merasakan sakit hati berkali-kali karena ucapan kasar saya sejak kecil, semoga ALLOH mengampuni saya dan membahagiakan Ibunda.
Bahkan fisik sayapun berubah. Wajah saya mengeras, saat terdiam tanpa senyum, orang mengira saya sedang marah, dan memang sulit sekali bagi saya untuk tersenyum. Itu dulu sebelum saya sadar dan berubah.

Bila malam tiba, saat orang-orang yang saya sayangi sudah tertidur, saya sering menangis memandangi mereka. Betapa kejam saya sudah tega menyakiti hati mereka, yang menyayangi saya dan berusaha membahagiakan saya. PENYESALAN...Itulah buah kemarahan. Meskipun saat ini saya sudah berubah banyak, menghilangkan kebiasaan marah, penyesalan itu masih tertinggal. Saya sengaja membiarkan beban penyesalan itu, meskipun saya bisa menguranginya, agar lebih mudah mengeluarkan air mata untuk membasahi hati agar semakin lembut. Yang penting sekarang saya berusaha keras tidak lagi menambahnya.

Saat semakin terbebas dari kemarahan, saat ini saya menaruh iba kepada orang-orang yang suka mengumbar kemarahan karena yakin bahwa mereka sedang menumpuk-menggunungkan penyesalan. Saya yakin jiwa mereka semakin berat, semakin penat, semakin menderita. Semakin lama mereka dengan kemarahannya, semakin banyak kerusakan yang hampir tidak akan pernah bisa diperbaiki.
Saat ini, zaman now, di era digital-era gadget-era sosmed mudah sekali orang mengobarkan kemarahan di ‘depan umum’. Mudah sekali orang mengumbar sumpah serapah, makian hina, komentar nyinyir, dan yang lebih memprihatinkan : mereka bangga dengan kobaran amarahnya. “Status-statusku sendiri, wall-wall-ku sendiri terserah aku...”. Mereka menganggap kemarahannya masuk ranah pribadi, padahal status mereka disetting untuk dibaca umum. Ibaratnya, mereka marah-marah diteras rumah dengan suara keras menggunakan pengeras suara.
Saya sangat mengasihani mereka karena yakin mereka orang-orang yang jauh dari bahagia. Mereka menganggap kobaran api kemarahan akan mampu mengurangi penderitaan mereka. Alih-alih mengurangi penderitaan, kemarahan mereka telah ‘membakar’ lingkungan sekelilingnya dan arang tak akan bisa dikembalikan menjadi kayu. Percayalah...mereka akan dipenuhi penyesalan, itu pasti karena saya dulu pelakunya.

Karena itulah saya sangat mengagumi orang sabar, orang yang sabar ya...bukan orang yang suka menahan kemarahan. Karena dua hal tersebut sangat berbeda. Orang yang terbiasa menahan kemarahan bukanlah orang sabar. Mereka marah tapi dipendam sendiri, mungkin yang tahu hanya diri sendiri, atau sikap marah mereka tidak terlihat berapi-api. Orang-orang seperti itu akan mengalami banyak penyakit fisik. Kemarahan adalah api, dan api yang ditahan tetaplah api yang panas membakar. Bayangkan menahan api berkobar di dalam tubuh Anda...
Api bukanlah ditahan, tapi dipadamkan. Memang berat memadamkan api, lebih berat dibanding menahannya apalagi mengumbarnya, tapi jauh lebih besar manfaatnya dan jauh lebih kecil dampak buruknya. Butuh kekuatan besar untuk memadamkan api kemarahan. Itulah orang sabar, punya kekuatan besar untuk selalu memadamkan api kemarahan. Orang sabar pantang mengumbar kemarahan, karena itu adalah perbuatan orang lemah yang tidak berdaya menghadapi kemarahannya sendiri, orang kalah = pecundang. Orang sabar juga enggan menahan-nahan kemarahan, mungkin sebentar saja menahannya dan langsung menghilangkannya. Orang sabar selalu punya sumber daya untuk memadamkan api kemarahan.

Bertahun-tahun saya berusaha mengumpulkan kekuatan kesabaran, kekuatan untuk memadamkan api kemarahan. Bukan hal yang mudah bagi saya yang sejak kecil sudah terbiasa hidup dengan kemarahan, tapi saya ingin bahagia dan membahagiakan. Menurut saya, dan sangat meyakininya, selama ada kemarahan tidak akan ada kebahagiaan. Saya yakin saya bisa karena orang sabar bukanlah mitos. Orang sabar bukanlah cerita legenda belaka. Orang sabar itu nyata, ada di sekeliling kita, dan kita bisa menjadi salah satu dari mereka.
Saya mau, berniat kuat menjadi orang sabar dan ALHAMDULILLAH sejauh ini  saya berhasil berubah, dan saya mengajak Anda...Anda mau...?

Semoga ALLOH meridloi usaha kita....

Selasa, 17 November 2015

[Perjalanan Haji] Senang...Bahagia...Semangat...Antusias...Khawatir...Cemas...Setelah Mendapatkan Sesuatu yang Ditunggu Bertahun-tahun

Lebih dari setahun lalu saya dan istri melakukan perjalanan ibadah Haji. Sengaja saya tidak menuliskannya langsung karena saya ingin mengendapkannya dulu. Saya khawatir bila langsung saya tuliskan pengalaman indah itu ada terselip sikap riya' atau sum'ah di dalamnya. Saya harus menata dulu pikiran dan perasaan sampai benar-benar yakin terbebas dari penyakit-penyakit hati tersebut. Saya tidak ingin tulisan saya justru merusak kebahagiaan dan potensi kebahagiaan.


Apa yang Anda rasakan bila akan mendapatkan sesuatu yang sudah ditunggu-tunggu selama lima tahun? Senang...Bahagia...Semangat...Antusias...? Saya merasakan itu semua ditambah rasa cemas dan khawatir...Lho kok?

Tahun dua ribu sembilan saya mendaftar Haji bersama istri, dan mendapat informasi rencana keberangkatan pada tahun 2014. Bagi kami waktu menunggu lima tahun cukup untuk mengumpulkan uang pelunasan.
Pada tahun 2013 ada pengurangan kuota jamaah Haji karena proses pembangunan Masjidil Haram. Kami khawatir pengurangan kuota ini akan menggeser rencana keberangkatan tahun 2014, dan ALHAMDULILLAH tidak terjadi.

Pada awal tahun 2014 kami melakukan konfirmasi ke Kementrian Agama (KEMENAG) dan mendapat jawaban yang melegakan : In Sya ALLOH kami masuk daftar Jamaah Haji Indonesia tahun 2014.
Sangat senang dan bahagia akan mendapatkan apa yang kami tunggu-tunggu selama lima tahun. Kami sangat semangat dan antusias akan melakukan suatu kegiatan yang sudah terbayang sejak lima tahun sebelumnya. Tapi kami juga cemas dan khawatir...Kami khawatir akan melakukan kekeliruan yang menyebabkan hal istimewa jadi menurun kualitasnya. Kami cemas penantian lima tahun jadi sia-sia karena ketidaktahuan dan ilmu yang rendah.

Ibadah Haji adalah ibadah yang istimewa. Diwajibkan hanya bagi yang memiliki kemampuan, kemampuan untuk melakukan perjalanan menuju tanah suci Mekkah, kemampuan materi dan fisik. Jadi wajib hukumnya bagi semua umat Islam yang sudah mempunyai kecukupan materi dan kekuatan fisik untuk melakukan perjalanan ke tanah suci Mekkah. Tapi...tidak semua jamaah Haji mendapatkan manfaat dari ibadah Haji. Tidak semua jamaah Haji mencapai tujuan dari ibadah Haji. Penyebab utamanya adalah ketidaktahuan atau kebodohan. Itulah yang sangat kami khawatirkan...Yang membuat kami cemas... Karena ketidaktahuan kami khawatir kehilangan manfaat ibadah Haji yang membutuhkan biaya besar. Kami cemas akan gagal mendapatkan tujuan ibadah Haji gara-gara kebodohan, padahal harus antri bertahun-tahun untuk melakukannya.

Ada penyesalan yang muncul : mengapa selama menunggu bertahun-tahun tidak kami gunakan untuk mencari ilmu tentang ibadah Haji. Lima tahun sangatlah cukup untuk mencari dan mendapatkan ilmu tentang ibadah Haji, ilmu yang tepat dan benar. Seandainya kami melakukan itu maka tidak perlu lagi khawatir dan cemas, paling tidak kekhawatiran dan kecemasan tidak terlalu besar.

Sesal kemudian tiada guna, begitulah pesan orang-orang bijak, dan kami menyadari itu. Kami juga tidak mau terbelenggu kekhawatiran dan kecemasan. Kami harus melakukan sesuatu secepatnya, harus segera bergerak mencari ilmu menambah pengetahuan tentang ibadah Haji. Waktu hanya beberapa bulan harus kami manfaatkan maksimal untuk mendapatkan ilmu.

Maka kami mulai mencari informasi tentang cara-cara mendapatkan ilmu ibadah Haji.

Banyak yang menyarankan kami untuk bergabung dalam Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Dari KBIH kami akan mendapatkan pelatihan dan bimbingan manasik Haji sebelum berangkat maupun saat di tanah suci Mekkah. Dan juga, saat itu sistem koordinasi persiapan pemberangkatan jamaah Haji dengan pihak KEMENAG dilakukan melalui KBIH, meskipun tidak diwajibkan tergabung dalam salah satu KBIH. Keuntungan lain tergabung dalam KBIH adalah karena pembagian kelompok dan rombongan Haji berdasarkan KBIH maka jamaah Haji akan mengenal teman-teman kelompoknya sebelum berangkat sehingga sempat melakukan pengenalan, pendekatan, dan bisa membuat rencana bersama.

Kami pun segera melakukan observasi untuk mencari KBIH yang bagus, berdasarkan kesaksian kerabat dan sahabat yang sudah pernah beribadah Haji. Dari segi biaya hampir tidak ada perbedaan yang significant. Kalau pun ada yang menarik biaya lebih tinggi itu karena fasilitasnya juga lebih banyak.

Ada beberapa KBIH yang direkomendasikan karena setiap tahun membina banyak sekali jamaah Haji. Sebagian besar KBIH tersebut akan membimbing jamaah secara intens, bahkan saat beribadah di tanah suci. Para jamaah Haji akan diajak beribadah secara berkelompok dan dibimbing sepenuhnya oleh Ustadz yang mendampingi, membaca doa secara berjamaah bersama-sama. Ada juga yang menyediakan katering makan siang saat di Mekkah (pada tahun 2014 jamaah Haji Indonesia belum mendapatkan fasilitas makan siang saat di hotel Mekkah)

Sampailah pada kami informasi tentang suatu lembaga bimbingan manasik Haji yang tidak memungut biaya sepeserpun tapi sangat profesional, memiliki kualitas layanan prima. Kami pun segera bergabung. Apa salahnya dicoba dulu, toh tanpa biaya, kalau tidak cocok kami bisa segera mencari KBIH lain. Dan ternyata kami memutuskan untuk berangkat ke tanah suci bersama lembaga ini. Kami mensyukuri keputusan tersebut dan kami meyakini kuasa ALLOH yang mengarahkannya. Kami bersyukur bukan hanya karena tidak perlu mengeluarkan tambahan biaya untuk bimbingan manasik, itu hanya sebagian kecil keuntungan. Kami bersyukur karena melalui lembaga ini mendapatkan anugerah pengalaman yang terindah, yang takkan terlupakan.

Kami mendapatkan beberapa pelajaran sangat berharga dari proses pemilihan KBIH ini. Bahwa ternyata untuk mendapat sesuatu yang berkualitas tidak selalu harus ditukar dengan nominal materi yang tinggi. Bahwa ternyata nilai keikhlasan jauh lebih berharga dari berapapun uang yang kami miliki.

(bersambung)

Sabtu, 28 Juni 2014

Coqi Mulai Suka dan Rajin Menulis

Saya suka menulis, sangat suka menulis. Impian saya adalah hidup dengan dan dari menulis.
Menulis adalah kegiatan yang murah, sederhana, dan banyak manfaatnya. Karena itu saya juga punya impian anak-anak saya juga suka menulis. Saya memang tidak boleh memaksa anak-anak untuk suka menulis, tapi saya akan melakukan berbagai upaya agar mereka jadi suka menulis.

Cara mendidik yang paling efektif adalah dengan contoh, teladan. Saya optimis bisa membuat anak-anak suka menulis karena saya sudah memberikan contoh. Setiap hari mereka melihat saya menulis.

Sejak bisa menulis Coqi Basil sudah saya kompori (meminjam istilah Pak Heri) agar mau dan suka menulis. Awalnya Coqi mencoba menulis cerpen anak karena tertarik setelah membaca buku-buku karya penulis anak dalam seri Kecil-kecil Punya Karya, tapi tidak pernah bisa selesai. Hanya satu atau dua paragraph saja yang berhasil dia tulis. Setelah mencoba beberapa kali dan tidak berhasil, Coqi berhenti berusaha menulis cerpen. Terakhir dia berusaha menulis kira-kira saat masih kelas tiga Sekolah Dasar. Sejak itu dia tidak lagi mau membuat karya tulis, dan saya tidak mau memaksanya.

Mungkin saat itu saya dan Coqi keliru memahami, seperti para penulis pemula lainnya, bahwa karya tulis itu harus berjenis fiksi atau sastra. Tulisan nonfiksi kami anggap bukan karya tulis, dan Coqi merasa tidak nyaman menulis fiksi. Atau mungkin saat itu Coqi belum menemukan genre tulisan yang dia sukai.

Saat mulai sekolah di tingkat menengah pertama atau SMP, Coqi mulai menyadari minatnya di bidang komedi. Dalam setiap kesempatan dia melontarkan joke-joke original dan berhasil membuat orang-orang sekitarnya tertawa.

Coqi sangat berminat mempelajari stand up comedy. Setiap ada kesempatan browsing-surfing dia gunakan untuk mencari infomasi dan pengetahuan tentang Stand Up Comedy. Dia menemukan kesimpulan bahwa seorang Comic (sebutan untuk comedian Stand Up Comedy) yang baik harus sering menuliskan materi-materinya. Sejak itu dia selalu menulis dalam buku khusus setiap kali menemukan ide materi. Dan sejak itu pula dia rajin mengisi blog-nya dengan tulisan-tulisan komedi.

Tulisan Coqi dalam blog-nya tidak sebagus tulisan Raditya Dika, Solih Solihun, atau penulis buku lainnya, tapi saya sangat bangga. Saya bangga Coqi sudah suka dan rajin menulis. Saya yakin cepat atau lambat, bila dia konsisten dan istiqomah menulis, kualitas tulisannya akan semakin baik.


Silakan kunjungi Blog-nya http://blackbazil.blogspot.com

Minggu, 25 Mei 2014

Manfaat Gadget bagi Hanun?

Dalam tulisan sebelumnya (Manfaat Gadget bagi Coqi?) saya ‘tersengat’ ketika harus menjawab kuisioner dari sekolah Hanun tentang gadget. Saya menyadari bahwa ternyata sikap kami sebagai orang tua Coqi dan Hanun masih kurang tegas. Kami masih mengizinkan, bahkan sering membiarkan dalam waktu lama, Hanun memainkan gadget.

Bila Coqi sudah bisa mendapatkan manfaat dari gadget, untuk menulis melalui laptop, maka Hanun hanya bisa menggunakan gadget untuk bermain game, hanya untuk main game. Sebenarnya saya dan istri tidak memiliki gadget yang berisi game yang menarik, bahkan di smartphone kami tidak ada game yang bisa dimainkan, tetapi saat bertemu saudara-saudara sepupunya atau Om dan Tantenya Hanun kerap memainkan gadget mereka yang berisi permainan-permainan menarik.

Sejak menerima ‘kuisioner gadget’ itu saya berpikir panjang tentang manfaat gadget, termasuk game/permainan di dalamnya, bagi Hanun. Semakin panjang saya berpikir, semakin saya menemukan bahwa gadget tidak memiliki manfaat bagi Hanun kecuali untuk sarana komunikasi.

Mungkin ada orang, mungkin juga pakar/peneliti, yang berpendapat bahwa game atau permainan dalam gadget bisa memicu peningkatan IQ anak. Mungkin mereka benar memang ada manfaatnya, tapi lebih besar mana dengan dampak negatifnya? Permainan dalam gadget mungkin bisa meningkatkan kecerdasan intelektual, bagaimana dengan kecerdasan sosialnya? Kecerdasan emosionalnya? Kecerdasan spiritualnya?

Sebagai orang tua saya ingin Hanun menjadi pribadi yang bahagia dan membahagiakan, dan saya yakin itu tidak hanya ditopang kecerdasan intelektual semata. Bahkan lebih banyak orang bahagia yang memiliki IQ sedang tetapi EQ dan SQ-nya tinggi dibanding sebaliknya. Saya sangat tidak ingin Hanun menjadi orang yang update dalam hal technology (tidak gaptek) tapi gagap pergaulan atau gagap sosial.

Saya tidak tahu apakah para pakar dan peneliti yang berpendapat bahwa permainan game dalam gadget bisa meningkatkan IQ juga sudah melakukan penelitian pada permainan tradisional. Apakah mereka pernah melakukan penelitian pada permainan bekel, dakon, bentengan, gobak sodor?


Beberapa hari setelah menerima ‘kuisioner gadget’ saya membelikan Hanun seperangkat bekel dan dakon. Saya bukan peneliti, saya tidak punya ilmu dasar-dasar penelitian, tetapi saat melihat Hanun belajar memainkan bekel-nya saya lihat dia melatih syaraf motorik, menghitung, mengingat, kejujuran, dan berbagi, yang tidak mungkin didapat saat memainkan game dalam gadget

Manfaat Gadget bagi Coqi?

Beberapa bulan yang lalu saya mendapat kuisioner dari sekolah Hanun tentang gadget. Pertanyaannya hanya lima, tapi pada pertanyaan ketiga saya terhenti karena kesulitan menjawab.

Pertanyaan pertama : “Mulai usia berapa ananda diperkenankan memegang gadget?”

Saya menjawab tiga tahun. Saat menjawab pertanyaan pertama ini, sebelum membaca pertanyaan berikutnya perasaan saya sudah tidak enak. Dan benar, pertanyaan kedua sangat sulit dijawab.

Pertanyaan kedua : “Apa tujuan Ayah/Bunda memperkenankan ananda memegang gadget?”

Pikiran saya campur aduk karena tersadar bahwa selama ini banyak sikap kami mendidik Hanun yang tidak memiliki tujuan yang jelas. Saya berusaha berpikir, mencari jawaban yang jujur dan pantas untuk pertanyaan kedua ini. Akhirnya saya menuliskan jawaban :”sekedar memperkenalkan teknologi”

Pertanyaan ketiga : “Manfaat apa yang didapat ananda dari gadget?”

Pertanyaan ketiga ini tampak pendek, tapi bagi saya terasa panjang. Bagi saya makna sebenarnya dari pertanyaan ini adalah “Manfaat apa yang bisa diberikan gadget kepada ananda yang tidak bisa diberikan oleh benda lain, yang benar-benar penting dalam proses tumbuh kembang ananda secara fisik, mental, dan sosial”
Saya benar-benar tidak mampu menemukan jawaban pertanyaan ketiga ini, maka saya tulis “nihil”.

Saya berhenti berusaha menjawab kuisioner, dan mulai berusaha berpikir untuk introspeksi tentang sikap-sikap kami dalam mendidik anak-anak. Saya teringat sempat merasa kasihan kepada Coqi dan Hanun, saat berkumpul dengan saudara-saudara sepupu mereka yang memegang gadget canggih masing-masing, Coqi dan Hanun hanya memandang dan berusaha meminjam dengan wajah melas. Saya sempat bimbang apakah langkah kami tidak membelikan gadget untuk anak-anak itu benar. Karena itu meskipun Coqi dan Hanun tidak memiliki gadget, mereka sering saya biarkan memainkan gadget milik saya atau ibunya. Setelah membaca kuisioner saya semakin mantap untuk membatasi Coqi dan Hanun memainkan gadget.

Coqi sudah punya laptop sendiri yang dia beli menggunakan uang tabungan hasil mengumpulkan uang beasiswa saat dia SD. Kami memberlakukan aturan bahwa belajar dan mengoperasikan computer/laptop harus dilakukan di ruang belajar bersama sehingga bisa saling tahu apa yang dilakukan masing-masing. Saya akan tahu apa yang dilakukan Coqi dengan laptopnya, kecuali dia sendirian di ruang belajar, sebaliknya Coqi akan selalu tahu apa yang saya lakukan dengan laptop saya. Dengan cara ini, selain untuk fungsi pengawasan, saya bisa memotivasi Coqi untuk menulis. Bukankah pendidikan yang terbaik itu dengan teladan? ALHAMDULILLAH Coqi sudah mulai aktif menulis di blog-nya http://blackbazil.blogspot.com.

Coqi sudah menyampaikan permohonan izin membeli smartphone dengan menggunakan uang tabungannya. Saya mengizinkan dengan syarat nilai hasil Ujian Nasional SMP memuaskan, dan kelak tidak dibawa ke sekolah. Saya mengizinkan Coqi memiliki smartphone saat SMA karena saya merasakan ada manfaat baginya. Coqi yang bercita-cita menjadi journalist saat ini sering meminjam smartphone milik ibunya untuk searching informasi bahan tulisan (Coqi punya kebiasaan menulis secara manual bahan tulisannya di buku sebelum diketik). Dia bilang lebih praktis menggunakan smartphone dibanding laptop untuk mencari data dengan cepat. “Kalau pakai laptop itu aku khan harus menunggu saat loading awal, loading membuka aplikasi internet, keburu hilang ideku Pak…” Seandainya saya tidak melihat manfaat itu saya mungkin baru mengizinkan Coqi memiliki smartphone saat lulus SMA.


Bagaimana dengan Hanun? Akan saya bahas pada tulisan berikutnya.

Kamis, 17 April 2014

[Anak Bermasalah 2] Anak adalah Akibat Orang Tuanya

Seorang ibu muda mengeluhkan anaknya yang 'speech delay'. Dia bahkan berani bayar berapapun untuk sesi terapi anaknya.

Alih-alih menerapi anaknya, saya malah mengajak ibu tersebut ngobrol tentang dirinya.
"Ibu bekerja?"
"Iya Pak...Saya berwirausaha..."
"Jam berapa Ibu sampai rumah?"
"Saya sampai rumah menjelang Ashar Pak"
"Capek Bu?"
"Iya Pak..."
"Apa yang Ibu lakukan saat capek di rumah, selain tidur?"
"Saya itu suka menggambar Pak..."
"Wah asik juga Bu...Dengan menggambar bisa menghilangkan capek? Wah sangat produktif kalau begitu..."
"Iya Pak...Wah kalau sedang asyik menggambar saya gak mau diganggu Pak...Biasanya saya malah jadi emosi kalau saat menggambar ada yang berisik. Saya merasa relax dan bebas saat sedang menggambar..."
(Obrolan terus berlanjut...)

Dari sekilas obrolan tersebut Anda pasti sudah bisa menebak apa yang akan saya sampaikan kepada ibu muda tersebut tentang masalah anaknya. Seperti biasa saya tidak menyampaikan pesan-pesan nasihat, tetapi beberapa pertanyaan yang harus dijawab Ibu muda tersebut. Kira-kira pertanyaan seperti apa yang saya sampaikan?

Pertanyaan bagi Anda : menggambar itu perbuatan baik atau buruk? Apa hubungan antara menggambar dengan ‘speech delay’?

Menggambar adalah suatu kebaikan. Melakukan sesuatu kebaikan untuk menyenangkan diri adalah perbuatan mulia. Tapi harus disadari bahwa sebagai  orang tua, menjadi ayah atau ibu, pasti memiliki amanah dan tanggung jawab lebih, lebih dan sangat besar. Jangankan menggambar, orang tua yang  tidak berbuat apa-apa bisa berakibat buruk sangat besar bagi anak-anaknya.


Anak adalah akibat orang tuanya. Bila Anda belum punya anak, segala perilaku Anda hanya akan ditanggung sendiri. Anda bebas berbuat sesuatu, apalagi suatu kebaikan.  
Tetapi saat Anda punya anak, maka semua anak Anda akan 'menikmati' akibat yang Anda sebabkan meskipun itu bukan kejahatan. Selalu pikirkan akibat yang akan ditanggung anak sebelum berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Kebaikan bagi Anda belum tentu membawa akibat kebaikan bagi Anak Anda.


Waspadalah dan segera berubah, atau Anda harus siap  kecewa melihat Anak Anda.