Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang pendiam, jalannya lempeng dengan pandangan lurus ke depan, tidak melihat kanan-kiri? Orang yang tidak mau membalas senyum Anda, melengos, enggan menegur Anda saat bertemu. Saat Anda berusaha mengajaknya ngobrol dia hanya menjawab singkat, seakan berusaha secepatnya menyudahi obrolan, hanya memandang Anda sekilas.
Anda mungkin menganggap orang tersebut sombong, atau angkuh...
Sebenarnya dia sama sekali tidak sombong, justru sebaliknya.
Dia sangat rendah diri.
Kesombongan yang terlihat hanyalah cara dia untuk menghadapi
ketakutannya.
Dia tidak membalas senyum Anda karena ragu apakah senyum itu
untuknya. Dia merasa tidak layak mendapatkan senyuman Anda, maupun dari semua
orang. Dia takut dianggap ke-GR-an.
Dia enggan berkomunikasi dengan orang lain, meskipun sangat
menginginkannya, karena merasa tidak pantas. Dia tidak tahu harus membicarakan
apa dengan orang lain, selalu takut akan mengatakan hal-hal yang dianggap bodoh
dan akan ditertawakan, atau sebaliknya, khawatir mengeluarkan kata-kata yang
menyinggung perasaan, atau kata-kata membosankan yang tidak menarik. Dia
sendiri mudah tersinggung, seringkali merasa diejek atau jadi sasaran ejekan,
padahal belum tentu juga dia yanng dituju, atau belum tentu kata-kata yang dia
dengar adalah bermaksud mengejeknya. Pokoknya dia selalu berpikir negatif
kepada orang lain.
Apakah karena dia intovert?
Hmmm...Dia suka berada di kerumunan orang banyak, meskipun
berusaha tidak terlihat dan lebih suka diabaikan kehadirannya. Dia merasakan
lebih bersemangat bersama banyak orang, dan merasa tertekan saat harus
sendirian di suatu tempat. Ketika sedih atau galau dia akan keluar ke
tempat-tempat umum, meskipun tidak berinteraksi dengan satu orang pun.
Sepertinya ciri-ciri itu menunjukkan bahwa dia seorang extrovert, bukan
introvert.
Mengapa dia bisa begitu?
Karena trauma masa lalu. Dia korban bullying. Perundungan.
Dia lahir dengan jidat keluar lebih dulu sehingga bentuk
kepalanya jadi aneh. Peang. Seperti penderita hydrosefalus.
“Lihat anak itu...Kepalanya aneh...”
“Ndase koyok tempe...”
“Hey...Ndas gentong!!”
“Motone mendolo...”
Orang tua mengometari bentuk kepalanya yang aneh, anak-anak
mentertawakannya. Banyak juga teman-teman sebaya yang mengganggunya secara
fisik.
Bertahun-tahun dia merasakan itu. Sehingga membentuk
mentalnya jadi sangat rendah diri. Begitu dahsyat pengaruh perundungan terhadap
mentalnya.
Dia adalah saya. Korban perundungan di masa kecil, yang mampu
memperbaiki diri.
Semua itu masa lalu. Perundungan itu saya alami saat kecil
dan menjelang remaja. Namun dampaknya saya rasakan sampai dewasa. Entah kenapa,
saya tidak pernah mengeluhkan yang saya rasakan kepada Bapak dan Ibu. Mungkin
karena saya kasihan kepada mereka, sudah terlalu lelah bekerja. Saya telan
sendiri semuanya.
Saya tidak menyesalinya, justru bersyukur terhadap segala apa
yang pernah saya alami. Sekarang saya jadi lebih mempunyai empati terhadap para
korban perundungan di masa kecil, karena mengalaminya sendiri. Empati itulah
senjata utama saya untuk membantu mereka menjadi lebih baik dan bahagia. Mampu
memandang masa depan dengan optimis, menjalani hidup dengan percaya diri.
Wahai para orang tua, jangan remehkan perundungan yang
dialami anak-anak Anda. Sekecil apapun sangat menyakitkan bagi mereka. Melukai
mental. Membekas. Mereka butuh tindakan khusus untuk menyembuhkan luka itu,
serius.
Jangan minta anak-anak Anda melupakan perundungan yang mereka
alami. Itu bukan solusi, justru berpotensi membebani jiwa mereka dalam alam
bawah sadarnya. Luangkan waktu lebih banyak untuk mendampingi mereka, ajak
bicara, dengarkan. Jangan terlalu banyak menceramahi mereka, jangan sok tahu
perasaan mereka sebelum Anda mendengar lebih banyak.
Wahai para korban perundungan, jangan simpan luka Anda!
Terima, bersihkan, dan ikhlaslah. Anda tidak perlu melupakan peristiwa itu,
karena akan tetap jadi masa lalu Anda, selamanya. Terima saja, akui. Maafkan
semua orang yang berkontribusi dalam perundungan itu, ikhlaskan. Memang berat,
tapi hidup Anda jadi lebih berat jika tidak ikhlas.