Beberapa
bulan yang lalu saya mendapat kuisioner dari sekolah Hanun tentang gadget.
Pertanyaannya hanya lima, tapi pada pertanyaan ketiga saya terhenti karena
kesulitan menjawab.
Pertanyaan
pertama : “Mulai usia berapa ananda diperkenankan memegang gadget?”
Saya
menjawab tiga tahun. Saat menjawab pertanyaan pertama ini, sebelum membaca
pertanyaan berikutnya perasaan saya sudah tidak enak. Dan benar, pertanyaan
kedua sangat sulit dijawab.
Pertanyaan
kedua : “Apa tujuan Ayah/Bunda memperkenankan ananda memegang gadget?”
Pikiran saya
campur aduk karena tersadar bahwa selama ini banyak sikap kami mendidik Hanun
yang tidak memiliki tujuan yang jelas. Saya berusaha berpikir, mencari jawaban
yang jujur dan pantas untuk pertanyaan kedua ini. Akhirnya saya menuliskan
jawaban :”sekedar memperkenalkan teknologi”
Pertanyaan
ketiga : “Manfaat apa yang didapat ananda dari gadget?”
Pertanyaan
ketiga ini tampak pendek, tapi bagi saya terasa panjang. Bagi saya makna
sebenarnya dari pertanyaan ini adalah “Manfaat apa yang bisa diberikan gadget
kepada ananda yang tidak bisa diberikan oleh benda lain, yang benar-benar
penting dalam proses tumbuh kembang ananda secara fisik, mental, dan sosial”
Saya
benar-benar tidak mampu menemukan jawaban pertanyaan ketiga ini, maka saya
tulis “nihil”.
Saya
berhenti berusaha menjawab kuisioner, dan mulai berusaha berpikir untuk introspeksi
tentang sikap-sikap kami dalam mendidik anak-anak. Saya teringat sempat merasa
kasihan kepada Coqi dan Hanun, saat berkumpul dengan saudara-saudara sepupu
mereka yang memegang gadget canggih masing-masing, Coqi dan Hanun hanya
memandang dan berusaha meminjam dengan wajah melas. Saya sempat bimbang apakah
langkah kami tidak membelikan gadget untuk anak-anak itu benar. Karena itu
meskipun Coqi dan Hanun tidak memiliki gadget, mereka sering saya biarkan
memainkan gadget milik saya atau ibunya. Setelah membaca kuisioner saya semakin
mantap untuk membatasi Coqi dan Hanun memainkan gadget.
Coqi sudah
punya laptop sendiri yang dia beli menggunakan uang tabungan hasil mengumpulkan
uang beasiswa saat dia SD. Kami memberlakukan aturan bahwa belajar dan
mengoperasikan computer/laptop harus dilakukan di ruang belajar bersama
sehingga bisa saling tahu apa yang dilakukan masing-masing. Saya akan tahu apa
yang dilakukan Coqi dengan laptopnya, kecuali dia sendirian di ruang belajar,
sebaliknya Coqi akan selalu tahu apa yang saya lakukan dengan laptop saya.
Dengan cara ini, selain untuk fungsi pengawasan, saya bisa memotivasi Coqi
untuk menulis. Bukankah pendidikan yang terbaik itu dengan teladan? ALHAMDULILLAH
Coqi sudah mulai aktif menulis di blog-nya http://blackbazil.blogspot.com.
Coqi sudah
menyampaikan permohonan izin membeli smartphone dengan menggunakan uang
tabungannya. Saya mengizinkan dengan syarat nilai hasil Ujian Nasional SMP memuaskan, dan kelak tidak dibawa ke sekolah. Saya mengizinkan Coqi memiliki
smartphone saat SMA karena saya merasakan ada manfaat baginya. Coqi yang
bercita-cita menjadi journalist saat ini sering meminjam smartphone milik
ibunya untuk searching informasi bahan tulisan (Coqi punya kebiasaan menulis secara manual bahan tulisannya di buku sebelum diketik). Dia bilang lebih praktis menggunakan
smartphone dibanding laptop untuk mencari data dengan cepat. “Kalau pakai
laptop itu aku khan harus menunggu saat loading awal, loading membuka aplikasi
internet, keburu hilang ideku Pak…” Seandainya saya tidak melihat manfaat itu
saya mungkin baru mengizinkan Coqi memiliki smartphone saat lulus SMA.
Bagaimana
dengan Hanun? Akan saya bahas pada tulisan berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar