Teman-teman yang baru mengenal saya mungkin tidak
mengira bahwa dulu saya pernah ‘melabrak’ pimpinan divisi general affair hanya
karena tidak diprioritaskan menggunakan kendaraan operasional, sampai ada
adegan membanting pintu segala. Saya juga pernah menghadap Kepala Cabang dengan
emosi hanya karena ruangan saya dipinjam divisi lain. Saat itu saya merasa apa
yang saya lakukan benar. Saya berani berbuat karena merasa benar. Ternyata
benar saja tidak cukup.
“Lebih baik kalah dalam pertempuran untuk
memenangkan peperangan”. Saya sering mendengar kata-kata bijak ini. Saya
menyadari bahwa saya dulu selalu ingin memenangkan pertempuran karena merasa
benar. “Berani karena benar”. Ternyata
berani saja belum cukup.
Dulu, saya cepat bertindak karena merasa benar,
benar menurut saya, bagaimana menurut orang lain? Apa akibat tindakan saya bagi
diri sendiri dan orang lain?
Dulu, saya menganggap cepat bertindak adalah
perwujudan dari istilah tangkas, atau proaktif, atau cepat tanggap. Saya lupa
bahwa juga ada istilah ceroboh, atau gegabah, atau grusa-grusu. Yang membedakan
apa?
Yang membedakan adalah sebesar apa saya
memperhatikan akibat, atau dampak, atau efek, dari tindakan saya. Bila saya
merasa benar, kemudian bertindak cepat tanpa peduli baik buruknya akibat tindakan
saya, maka saya telah melakukan tindakan gegabah.
“Ah kelamaan kalau mau bertindak harus mikir tentang
segala akibatnya…”
Mungkin kelamaan, saat saya belum terbiasa memikirkan
akibat sebelum melakukan tindakan, belum menjadikan hidup efektif sebagai gaya hidup.
Memang perlu kemauan untuk berubah, dan saya memutuskan untuk berubah menjadi
lebih efektif, selalu berpikir akibat sebelum bertindak. Untuk itu saya harus
terus berlatih dan berlatih, karena berubah menjadi lebih baik tidak boleh
berhenti sampai maut menjemput.