Dua buku berkualitas karya Forum Lingkar Pena Malang

"Ada Kisah di Setiap Jejak" adalah buku kumpulan kisah nyata inspiratif, dan "Perempuan Merah dan Lelaki Haru" adalah buku kumpulan cerpen berkualitas. Hanya dijual online.

Ebook Gratis - Seminar - Workshop

Download Gratis Ebooknya di http://pustaka-ebook.com/pnbb-e-book-15-8-rahasia-sukses-ujian-nasional

Kebahagiaan dan Kedamaian Hati tergantung Keputusan Anda Sendiri

Kami hanya bisa membantu pribadi-pribadi yang mau berubah dan bersedia dibantu

Kripik untuk Jiwa - Renyah Dibaca, Bergizi dan Gurih Maknanya

Buku ringan berisi kiat-kiat mudah berubah menjadi bahagia dan membahagiakan

Inspirasi - Harmoni - Solusi

Berbagi inspirasi ... Membangun keselarasan ... Menawarkan solusi

Kamis, 15 November 2012

Jangan Sebut Saya 'Ustadz'


Kata ‘ustadz’ dalam bahasa Arab adalah guru dalam bahasa Indonesia. Saya sangat bahagia, dan menjadi impian saya, menjadi seorang guru. Namun sampai saat ini, entah sampai kapan, saya masih risih bila dipanggil ustadz. Bagi saya gelar ustadz adalah gelar yang sangat mulia, beberapa tingkat lebih tinggi dari gelar guru, menurut perasaan saya pribadi. Saya merasa sebutan ustadz belum pantas saya sandang, terlalu berat bebannya.

Dalam setiap kesempatan menyampaikan materi di forum saya selalu menyampaikan agar tidak memanggil saya ustadz. Banyak yang layak dan pantas dipanggil ‘ustadz’ dan saya belum layak.

Masih menurut perasaan saya, ustadz adalah seorang alim yang memahami ilmu-ilmu dunia dan akhirat, paham dan mampu memandu umat melalui jalan menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sedangkan saya masih sedikit paham jalan menuju kebahagiaan di dunia, dan selalu mencari jalan terbaik menuju kebahagiaan akhirat.

Seorang ustadz adalah insan mulia yang sudah menjalankan segala ajaran-ajaran mulia, yang kemudian diajarkan kepada umat. Sedangkan saya masih sedikit-demi sedikit mengumpulkan ilmu mulia itu dan belajar mengamalkannya, sementara hanya saya bagi dan contohkan kepada anak dan istri.

Saya bahagia jadi guru, tapi saya belum lagi ustadz. Jangan sebut saya ustadz karena saya khawatir terbatasnya ilmu dan tindakan saya akan menodai gelar ustadz yang mulia.

Rabu, 14 November 2012

Hutang Budi (Dibawa Mati) Saya Kepada FLP Malang

Saya mulai berani dan bisa menulis sejak berkumpul dengan teman-teman FLP Malang. Saya rasakan sendiri manfaat sebuah  kebersamaan dalam komunitas yang memiliki kecenderungan minat yang sama. Dalam komunitas kita bisa saling memotivasi dan menginspirasi.

Saya merasa bisa seperti saat ini dalam hal kepenulisan adalah karena ALLOH mempertemukan saya dengan FLP Malang. Karena itu sampai kapanpun saya tidak akan melupakan ini, dan berharap dianugerahi kesempatan untuk membalas budi.

Sebagai sebuah organisasi, saya menilai FLP Malang masih sangat banyak kekurangannya, dan mungkin dari situlah sarana saya membalas budi kepada FLP Malang. Ilmu organisasi yang saya dapatkan saat menjadi karyawan, dan pengalaman akan saya sumbangkan semaksimalkan mungkin untuk meningkatkan kualitas FLP Malang sebagai sebuah organisasi.

ALHAMDULILLAH FLP Malang menyambut baik itikad saya. Dengan semangat fastabikul khoirot teman-teman FLP Malang khususnya pengurus sangat antusias menyambut tawaran saya. Mereka dengan kemauan dan semangat yang tinggi bersedia mengubah pikiran dan tindakan dalam berorganisasi. Memang belum bisa dibilang ideal, tapi saya mengamati dan membuktikan adanya progres kemajuan yang significant. Saya sangat menghargai dan salut atas kemauan tinggi teman-teman FLP Malang untuk berubah menjadi lebih baik, berusaha menjadi yang terbaik.

Saya tidak bisa menjamin kapan FLP Malang bisa benar-benar menjadi organisasi nirlaba yang profesional. Tapi saya yakin, bila proses perubahan ini secara istiqomah dijalankan, secepatnya FLP Malang akan menjadi sebuah organisasi yang disegani secara nasional bahkan internasional, dan maksimal bermanfaat bagi seluruh anggotanya maupun masyarakat umum.

Selasa, 13 November 2012

Majalah Bahasa Jawa


Entah sejak kapan saya suka membaca, saya tidak ingat. Mungkin sejak saya bisa membaca, atau mungkin sebelumnya. Karena samar-samar saya ingat suka memandangi gambar-gambar dalam salah satu majalah anak-anak, entah usia saya berapa saat itu.

Saat saya masih kecil kemampuan ekonomi Bapak dan Ibu tidak terlalu kuat, meskipun tidak juga bisa dibilang lemah. Untuk mengalokasikan dana khusus kebutuhan membaca kadang bisa kadang tidak, lebih banyak tidak bisa. Pernah kali Ibu melangganankan kami majalah anak, tapi tidak bertahan lama. Tidak ada dana untuk melanjutkan berlangganan.Saya sangat sedih dan merasa kehilangan saat tidak lagi menerima majalah anak setiap minggu, seperti ada sesuatu yang kutunggu tapi tak kunjung datang. Kami bertiga, saya dan adik-kakak, memang selalu berebut saat majalah datang waktu masih berlangganan. Tapi sebenarnya hanya sayalah yang benar-benar menunggu dan mengharap kehadiran majalah tiap minggu. Hanya saya yang benar-benar menikmati membaca majalah. Maka hanya sayalah yang sangat kecewa dan merasa kehilangan.
gambar dari gusnardi.blogspot.com

Sebenarnya tidak semua majalah yang Ibu hentikan berlangganannya. Disisakan satu majalah, “Panjebar Semangat”, majalah bahasa Jawa dan bukan majalah anak. Tapi demi memenuhi kebutuhan, majalah itu pun saya baca sampai habis. Saya tidak begitu paham alasan Ibu tetap mempertahankan berlangganan majalah itu, mungkin karena harganya yang sangat murah, mungkin pula karena Ibu ingin mengenalkan dan memperkaya kemampuan anak-anaknya terhadap bahasa Jawa yang mulai ditinggalkan. Yang pasti hanya Ibu dan saya yang mau membaca majalah itu di rumah kami. Diskusi tentang cerpen atau cerbung Jawa, cerita wayang, atau artikel Jawa lainnya jadi acara saya dan Ibu yang tidak mungkin bisa diikuti oleh anggota keluarga yang lain.

Ternyata tradisi berlangganan majalah bahasa jawa ini sudah dimulai oleh almarhum Kakek, ayahnya Ibu. Kakek sangat perhatian dan peduli pada perkembangan Bahasa dan Budaya Jawa. Setiap bertemu beliau, saat saya masih kecil, Kakek selalu memberi wejangan tentang pentingnya mempelajari atau meningkatkan kemampuan Berbudaya Jawa khususnya Bahasa Jawa. Bahkan saya sempat segan bertemu dan berbicara dengan beliau karena Kakek selalu mengkritik ucapan Bahasa Jawa saya sekecil-detil kesalahannya.

Kegemaran atau kebiasaan saya membaca majalah “Panjebar Semangat” ternyata sangat bermanfaat bagi pelajaran Bahasa Jawa saya. Pelajaran Bahasa Jawa jadi terasa sangat mudah. Pelajaran huruf HANACARAKA yang selalu dikeluhkan oleh hampir semua teman-teman saya, saya rasakan mudah dan menyenangkan (sayangnya saat ini kemampuan itu hilang). Ujian (dulu kami menyebutnya ‘ulangan’) Bahasa Jawa adalah ujian yang saya tunggu-tunggu. Karena saya bisa menyelesaikan soal hanya dalam sepertiga waktu yang disediakan, dan malam harinya saya tidak perlu belajar atau mempersiapkan diri. Pernah saat ujian saya tertidur di atas lembar jawaban ujian, karena terlalu lama menunggu selesainya ujian dan saya malas keluar kelas bila belum ada teman yang menyelesaikan ujian. Tidur saya sangat nyenyak sampai saya tidak menyadari saat Ibu Guru berkali-kali mendatangi bangku saya (saya tahu dari teman-teman). Mungkin Ibu Guru heran kok ada muridnya yang bisa tidur nyenyak saat ujian. Anehnya beliau tidak berusaha membangunkan saya. Tidur saya sangat nyenyak sampai saya ngiler membasahi lembar jawaban. Saat waktu ujian habis teman-teman sibuk merampungkan jawaban, saya sibuk mengeringkan air liur pada lembar jawaban.

Beberapa waktu yang lalu saya baru menyadari ternyata Ibu masih berlangganan “Panjebar Semangat” setelah sekian lama saya tidak membacanya. Saya berencana berlangganan juga, agar anak-anak saya juga membacanya.Saya ingin meneruskan tradisi mempelajari Bahasa Jawa dan meneruskan tradisi ini kepada anak-anak saya.

Anak Aneh yang Bersahabat dengan Jarum Suntik dan Obat


Anak yang Aneh

Tidak seperti bayi pada umumnya, saya terlahir pada posisi dahi keluar terlebih dahulu. Entah apakah cara lahir tidak umum itu penyebabnya atau sebaliknya, kepala saya sangat besar saat lahir. Ibu saya yang seorang Bidan dan dokter yang membantu persalinan sempat khawatir saya menderita Hydrosephalus (penyakit kelainan genetika dengan membesarnya batok kepala karena kelebihan cairan). Karena kondisi kepala saya mengindikasikan penyakit itu, kepala besar tidak proporsional dan mata melotot. Itulah yang diceritakan Ibu saat saya sudah sekolah SMP. Yang sangat saya syukuri adalah bahwa saya tidak pernah merasa menjadi orang aneh saat di dalam rumah. Bapak, Ibu dan saudara-saudara sangat menyayangi saya dan memperlakukan seperti anak normal yang sehat. Meskipun di luar rumah banyak orang memandang aneh dan anak-anak kecil menyoraki saya sebagai anak aneh. Pernah saat sudah dewasa saya harus mewakili Bapak menghadiri undangan Tahlilan tetangga, saya berbincang dengan seorang tetangga jauh yang sudah tua yang saat itu duduk di sebelah saya.

“Rumahnya mana mas?”
“Rumah nomor satu pak…”
“Lho…Apanya pak Nur?”
“Saya anak yang nomor dua”
Si Bapak melihat saya lama, berusaha mengingat-ingat.
“Oooo yang dulu waktu masih kecil tidak normal ya…….?”
Saya hanya mengangguk sambil tersenyum kecut. Mungkin melihat senyum kecut saya si Bapak berusaha menetralisir kalimatnya : “Tapi sekarang ganteng kok…”

Saat masuk TK, teman-teman baru saya sudah mengejek kepala saya seperti tempe. Pada hari pertama sekolah saya pulang dengan menangis dan merajuk tidak mau masuk sekolah lagi. Akhirnya setelah dibujuk Bapak dan Ibu saya mau sekolah lagi. Sejak itu saya berusaha tidak menggubris apapun yang dikatakan orang tentang bentuk kepala saya.

Waktu SD dan SMP julukan saya “Ndas Genthong”. Waktu SMA saya dijuluki “Ndas Cebuk” (Cebuk:gayung). Meskipun berusaha tidak menggubris, sedikit banyak  ejekan-ejekan itu mempengaruhi  kepribadian saya. Pengaruh negatifnya adalah saya menjadi anak yang minder dan kurang percaya diri. Pengaruh positifnya adalah saya menjadi semangat belajar  untuk menunjukkan kepada orang-orang yang mengejek saya bahwa kepala saya besar karena isinya berkualitas.

Saya adalah anak aneh yang minder tapi semangat belajar.

Anak yang Bersahabat dengan Obat dan Jarum Suntik

Saya tidak ingat pasti tahun berapa, tidak ingat pastinya saat itu berapa usia saya. Tapi saya sangat ingat bahwa sebelum SD saya sangat akrab dengan obat dan jarum suntik. Saya sangat mengingat bentuk obatnya dan bentuk alat suntiknya.

Karena menderita Bronchitis Acut saya harus sering difoto rongent. Saya sangat mengingat beberapa kali sebulan saya bersama Ibu naik angkutan umum ke rumah sakit. Tidak hanya difoto, tapi juga diambil darah saya menggunakan alat suntik. Di rumah setiap hari Ibu yang menyuntik saya. Saya sangat suka makan telur, saya mendapat satu telur ayam kampung bila saya mau disuntik.

Sembuh dari Bronchitis, saya sakit peradangan amandel. Sekali lagi saya harus sering ke rumah sakit, disuntik dan harus minum berbutir-butir tablet yang waktu itu di mata saya terlihat sangat besar.
Dalam jarak waktu yang tidak terlalu jauh saya juga pernah menderita Typhus sehingga harus Bedrest berminggu-minggu. Untuk buang air kecil dan besar saya harus digendong ke kamar mandi. Tentu saja saya bertemu lagi dengan jarum suntik dan obat berbutir-butir.

Secara bersamaan dengan penyakit-penyakit dalam tersebut, saya juga menderita penyakit luar, penyakit kulit. Saya menderita alergi terhadap telur,ikan, dan ayam. Makanan ,yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh anak seusia saya saat itu, menyebabkan tumbuhnya bisul-bisul kecil di kaki saya. Bisul-bisul itu sangat banyak dan berisi nanah. Ketika pecah, cairan-cairan nanah campur darah itu lama sekali keringnya. Begitu kambuh maka membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkan borok saya. Masih melekat di ingatan saya bagaimana Ibu dan Bapak secara bergantian membersihkan borok saya dan memasang perban, hampir tiap malam. Segala macam obat sudah dicoba untuk menyembuhkan borok saya. Mulai obat kimia sampai herbal. Bahkan saya juga mencoba makan kadal yang dibakar dan dimasukkan kapsul.

Dengan berbagai penyakit tersebut, saya menjadi akrab dengan obat dan jarum suntik. Bila anak-anak lain seusia saya masih sulit minum obat dan takut disuntik, saya merasa minum obat dan disuntik adalah suatu hal yang biasa, suatu rutinitas sehari-hari.Saya sudah bersahabat dengan obat dan jarum suntik saat belum usia sekolah.

Anak Aneh dan Penyakitan yang Dilimpahi Cinta dan Kasih Sayang

Seorang anak yang aneh, sering dicemoh orang, dan sakit-sakitan tentu hidupnya menderita, sangat tidak bahagia. Tapi tidak begitu yang saya rasakan. Memang ada masa-masa saya merasa tertekan dengan keanehan dan penyakit saya. Tapi tekanan itu tidak sampai mengisi sepertiga masa kecil saya. Sebagian besar saya rasakan kebahagiaan. Karena saya lahir dan tumbuh di antara orang-orang yang sangat mencintai saya.

Ayah dan Ibu yang selalu telaten merawat saya. Mereka tetap bangga dengan segala kekurangan saya. Memang mereka sangat menjaga saya agar tidak terlalu sering bertemu dengan orang-orang yang berpotensi mengejek keanehan saya. Saya selalu merasa istimewa di hadapan Bapak dan Ibu.

Bapak,Ibu dan saudara-saudara saya memberikan kekuatan sehingga saya bisa mengahadapi segala ujian kehidupan pada usia yang sangat muda. Tuhan memberi saya ujian sekaligus menganugerahkan segala kelengkapan untuk menghadapinya. ALHAMDULILLAH saya lulus ujian.

Minggu, 11 November 2012

Bedah Film "Invictus" untuk Memperingati Sumpah Pemuda


“Pak filmnya kok gak seru ya…”
“Kami nonton bareng nih pak. Baru awal kami sudah boring.Apalagi anak-anak SMA pak.”
“Film belum habis saya sudah ngantuk pak…”
“Film ini film drama dan plot/temponya lambat pak, bikin bosan”

Begitulah beberapa sms yang masuk (sudah saya konversi dari bahasa SMS ke bahasa yang lebih mudah dipahami) dari teman-teman pengurus FLP Malang tentang film Invictus beberapa hari sebelum acara Bedah Film di SMK Putera Indonesia Malang.

FLP Malang menerima tawaran dari yayasan Putera Indonesia Malang  (PIM) untuk merancang dan mengisi acara memperingati peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 29 Oktober 2012. Pihak yayasan mengusulkan acara nonton bareng dan membedah filmnya. Jumlah peserta ada dua ratus hingga lima ratus siswa dan kami harus mengisi acara selama empat jam. Saya sampaikan kepada teman-teman FLP Malang bahwa tawaran ini sangat menantang, karena perlu rencana, fasilitas, dan kerja lebih keras agar bisa sukses mengendalikan siswa sebanyak itu, membuat mereka antusias berinteraksi sampai akhir acara.

Kebetulan para pengurus FLP Malang sedang proses pelatihan dan peningkatan kualitas dalam berbicara di depan publik. Tawaran dari yayasan PIM akan menjadi sarana praktik langsung ke lapangan yang sesungguhnya, meskipun proses pelatihan baru lima puluh persen. Entah karena tidak ada yang berani, atau ingin menguji pelatihnya, saya yang diminta teman-teman sebagai main speaker acara ini. Saya menyanggupi dengan syarat teman-teman hadir mendukung dan membantu saya maksimal.

Agak bingung juga memilih film yang akan dipertontonkan dan dibedah bersama para siswa kelas sebelas SMK (zaman saya dulu nyebutnya kelas dua). Bila kami memutar film documenter, sangat pesimis bisa mengundang minat siswa untuk mau menonton sampai akhir, apalagi harus aktif. Namun bila kami menyajikan film laga yang seru, apa yang bisa kami bedah dan mengaitkannya dengan nilai-nilai kebangsaan dan sumpah pemuda. Ada yang mengusulkan film Vertical Limit, Merah Putih, Kung Fu Panda, dan lain-lain. Setelah kami bahas bersama belum ada film yang kami pilih sampai H-6, padahal untuk mempersiapkannya kami terpotong hari-hari perayaan Idul Adha dan pemotongan hewan kurban. Sebagian teman-teman pengurus FLP ada yang harus pulang kampong, sehingga kecil sekali kesempatan untuk berkumpul membahas dan mempersiapkan acara. Sebagai main speaker acara nanti saya merasa harus memilih dan memutuskan sendiri satu film yang harus saya siapkan sendiri, dan ternyata secara tiba-tiba terbersit film Invictus di benak saya (saya meyakini bahwa benak saya di bawah kuasa ALLOH). Saya segera mencari film itu, dan membagikannya ke teman-teman pengurus FLP Malang agar menontonnya dan memikirkan strategi penyampaian film ini kepada siswa.

Saya pribadi sangat menyukai film Invictus yang sarat pesan-pesan moral. Di film ini kita bisa menemukan pesan tentang persatuan, kepemimpinan, kemanusiaan, kebangsaan, kekuatan maaf, komunikasi, kebahagiaan, dan banyak lagi. Saya pastikan bahwa film ini adalah satu-satunya film yang pernah saya tonton yang mengandung banyak sekali pesan positif. Saya beberapa kali menontonnya dan beberapa kali pula membahas dengan anak sulung saya, Coqi, dan saat memilih film ini pun saya minta pendapatnya.

Pendapat dan kesukaan saya pada film ini ternyata tidak seirama dengan sebagian besar teman-teman pengurus FLP Malang setelah mereka menontonnya. Banyak teman-teman yang pesimis bahwa film ini bisa membuat ratusan siswa mau bertahan menonton sampai akhir dan aktif berinteraksi. SMS komentar dari mereka saya balas dengan SMS yang intinya seperti ini :
“Bila Invictus kurang bagus saya mohon bantuan teman-teman mencarikan film lain sekaligus merencanakan strategi penyampaiannya.Saya sendiri akan fokus menyiapkan Invictus.Hari Minggu sore (H-1) kita bertemu dan kita tentukan film mana yang akan kita bawakan.Misal teman-teman tidak menemukan film pengganti paling tidak saya sudah siap dengan Invictus” (Panjang juga SMS saya, mungkin terkirim dalam tiga SMS)

Pada H-1 kami memutuskan menggunakan film Invictus.

Bagaimana strategi kami? Insya ALLOH akan saya lanjutkan pada tulisan berikutnya. Yang pasti pada akhir acara bedah film ada sembilan puluh persen siswa yang bertahan, mereka dengan semangat dan  antusias bersama-sama membaca ikrar Sumpah Pemuda serta menyanyikan lagu Indonesia Raya.