Waktu kecil dulu saya
menderita sakit kulit sehingga dilarang makan daging ayam, telur, dan segala
makanan yang terbuat dari mahluk laut. Dokter bilang saya alergi. Saya 'hanya'
boleh makan daging sapi, kambing, dan bahan nabati. Saat-saat itu saya sering
mengeluh, rewel, bahkan mogok makan bila tidak tersedia lauk daging atau jeroan
sapi. Saya tidak peduli apakah kondisi keuangan orang tua saya memungkinkan
selalu menyediakan lauk seperti itu.
Mengapa saya yang sakit?
Mengapa hanya saya yang sakit? Saya tidak bisa makan makanan enak yang bisa
dimakan saudara-saudara atau teman-teman sebaya. Saya merasa menjadi 'korban',
korban penyakit. Karena merasa banyak hak-hak yang tidak bisa saya terima, hak
makan telur, daging ayam, dan ikan laut, saya merasa layak mendapatkan
kompensasi. Saya merasa sudah sepantasnya mengeluh dan minta diperlakukan
istimewa.
Bila mengingat masa-masa itu,
saya sekarang menyesal sekaligus geli sekaligus malu. Saya menyesal karena
ternyata pada masa itu saya tidak bisa mensyukuri nikmat yang luar biasa. Saya
dulu terlalu terpaku pada makanan yang pantang saya makan, padahal masih banyak
makanan yang boleh saya makan. Seharusnya saya berpikir 'hanya' dilarang makan
beberapa makanan, bukan berpikir 'hanya' boleh makan beberapa makanan. Karena
merasa menjadi 'korban' saya merasa pantas mengeluh dan menuntut macam-macam.
Padahal apa yang sudah disediakan orang tua sudah sangat istimewa dibandingkan
yang diterima anak-anak lain, saudara-saudara dan teman-teman, dan saya tidak bersyukur
sehingga saya kurang bahagia saat itu.
Saya geli karena ternyata
masa itu saya meributkan dan membesar-besarkan masalah yang sepele. Saya hanya
sakit kulit yang tidak mengancam jiwa, tapi saya bertindak seakan-akan
menderita penyakit yang menyiksa sepanjang hidup saya. Bersama dengan
bertambahnya usia ternyata alergi saya berangsur-angsur hilang.
Saya malu kepada anak-anak
saya, Coqi dan Hanun, yang lebih sabar saat sakit, lebih bersyukur sehingga
lebih mudah mendapatkan kebahagiaan. Coqi dan Hanun bila sakit tidak pernah
mengeluh dan jarang sekali rewel.
Sekarang, saya sangat
mensyukuri hidup. Meskipun saya menyesal atas tindakan bodoh saya menghadapi
sakit pada masa kecil, tapi saya tidak menyesali pengalaman itu karena itu yang
membangun kekuataan saya sehingga bisa seperti saat ini.
Saya bangga kepada Coqi dan
Hanun. Saya bersyukur bahwa ada perbaikan dan peningkatan kualitas antar generasi. Saya malu dengan masa lalu
saya, tapi sekarang saya tidak boleh memalukan mereka. Saya harus membuat
mereka bangga dengan berubah, belajar dari mereka.