Sejak dahulu saya selalu salut dan kagum kepada orang-orang
yang sabar.
Sejak kecil, dengan segala dinamika dan pengalaman (akan
saya ceritakan pada kesempatan lain), saya adalah pribadi yang temperamental.
Konyolnya, dulu saya bangga menjadi orang yang pemarah. Dengan pemahaman yang
sempit dulu saya menganggap bahwa orang pemarah sehingga ditakuti (lebih
tepatnya dijauhi sih...) orang itu gagah dan keren. Sekali lagi karena
kegagalan memahami, saya anggap diri saya keren seperti Umar bin Khattab ra
atau Pak Sakerah yang garang. Di kemudian hari saya sadar bahwa ternyata Umar
bin Khattab bukanlah pribadi pemarah yang temperamental, atau marah secara
sembarangan, tapi seorang yang tegas menghadapi kemungkaran sehingga dijuluki
Al Faruq. Sedangkan Pak Sakerah ternyata juga bukan tokoh putih yang patut jadi
teladan.
Semakin dewasa saya semakin merasakan derita kemarahan. Dari
diri sendiri, saat marah saya rasakan beberapa organ tubuh tidak bekerja dengan
benar : kepala pusing berdeyut, dada berdebar, persendian kaku dan pegal, mata
panas, nafas tersengal. Dan ternyata butuh waktu yang tidak sebentar untuk
mengembalikan kondisi badan menjadi normal kembali. Umur semakin bertambah,
semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menormalkan tubuh akibat kemarahan.
Akibat yang lebih merusak dari kemarahan adalah yang
dirasakan orang-orang di sekeliling saya, lingkungan sekitar, orang-orang yang saya sayangi. Di awal
pernikahan dulu rumah tangga saya dihiasi oleh suara keras bentakan dan air
mata tangisan, bentakan saya versus tangisan istri. Sejak Coqi (anak sulung)
lahir saya sudah menerapkan pendidikan yang tegas (lebih tepatnya : keras)
kepadanya, suatu pilihan langkah yang fatal. Sampai saat ini Coqi memiliki
kelemahan mental gara-gara sikap keras saya, atau mungkin lebih cocok disebut
cedera mental. Dia selalu mati gaya, salah tingkah, bila menghadapi orang lain
saat berada di dekat saya dan ibunya, tidak mampu bersikap normal apa adanya.
Sementara bila merasa tidak sedang kami awasi dia bisa bebas berekspresi dan
sikapnya sangat positif. Sampai saat ini Ibunda saya enggan menegur saya, masih
menganggap saya sekeras dulu. “Aku mending ngomong ke kamu...Aku tidak ingin
menimbulkan dosa pada Dian karena membantahku...” begitulah kira-kira yang
disampaikan Ibunda kepada istri saya. Ibunda mungkin sudah merasakan sakit hati
berkali-kali karena ucapan kasar saya sejak kecil, semoga ALLOH mengampuni saya
dan membahagiakan Ibunda.
Bahkan fisik sayapun berubah. Wajah saya mengeras, saat
terdiam tanpa senyum, orang mengira saya sedang marah, dan memang sulit sekali
bagi saya untuk tersenyum. Itu dulu sebelum saya sadar dan berubah.
Bila malam tiba, saat orang-orang yang saya sayangi sudah
tertidur, saya sering menangis memandangi mereka. Betapa kejam saya sudah tega
menyakiti hati mereka, yang menyayangi saya dan berusaha membahagiakan saya.
PENYESALAN...Itulah buah kemarahan. Meskipun saat ini saya sudah berubah banyak,
menghilangkan kebiasaan marah, penyesalan itu masih tertinggal. Saya sengaja
membiarkan beban penyesalan itu, meskipun saya bisa menguranginya, agar lebih
mudah mengeluarkan air mata untuk membasahi hati agar semakin lembut. Yang
penting sekarang saya berusaha keras tidak lagi menambahnya.
Saat semakin terbebas dari kemarahan, saat ini saya menaruh
iba kepada orang-orang yang suka mengumbar kemarahan karena yakin bahwa mereka
sedang menumpuk-menggunungkan penyesalan. Saya yakin jiwa mereka semakin berat,
semakin penat, semakin menderita. Semakin lama mereka dengan kemarahannya,
semakin banyak kerusakan yang hampir tidak akan pernah bisa diperbaiki.
Saat ini, zaman now, di era digital-era gadget-era sosmed
mudah sekali orang mengobarkan kemarahan di ‘depan umum’. Mudah sekali orang
mengumbar sumpah serapah, makian hina, komentar nyinyir, dan yang lebih
memprihatinkan : mereka bangga dengan kobaran amarahnya. “Status-statusku
sendiri, wall-wall-ku sendiri terserah aku...”. Mereka menganggap kemarahannya
masuk ranah pribadi, padahal status mereka disetting untuk dibaca umum.
Ibaratnya, mereka marah-marah diteras rumah dengan suara keras menggunakan
pengeras suara.
Saya sangat mengasihani mereka karena yakin mereka
orang-orang yang jauh dari bahagia. Mereka menganggap kobaran api kemarahan
akan mampu mengurangi penderitaan mereka. Alih-alih mengurangi penderitaan,
kemarahan mereka telah ‘membakar’ lingkungan sekelilingnya dan arang tak akan
bisa dikembalikan menjadi kayu. Percayalah...mereka akan dipenuhi penyesalan,
itu pasti karena saya dulu pelakunya.
Karena itulah saya sangat mengagumi orang sabar, orang yang
sabar ya...bukan orang yang suka menahan kemarahan. Karena dua hal tersebut
sangat berbeda. Orang yang terbiasa menahan kemarahan bukanlah orang sabar.
Mereka marah tapi dipendam sendiri, mungkin yang tahu hanya diri sendiri, atau
sikap marah mereka tidak terlihat berapi-api. Orang-orang seperti itu akan
mengalami banyak penyakit fisik. Kemarahan adalah api, dan api yang ditahan
tetaplah api yang panas membakar. Bayangkan menahan api berkobar di dalam tubuh
Anda...
Api bukanlah ditahan, tapi dipadamkan. Memang berat
memadamkan api, lebih berat dibanding menahannya apalagi mengumbarnya, tapi jauh
lebih besar manfaatnya dan jauh lebih kecil dampak buruknya. Butuh kekuatan
besar untuk memadamkan api kemarahan. Itulah orang sabar, punya kekuatan besar
untuk selalu memadamkan api kemarahan. Orang sabar pantang mengumbar kemarahan,
karena itu adalah perbuatan orang lemah yang tidak berdaya menghadapi
kemarahannya sendiri, orang kalah = pecundang. Orang sabar juga enggan
menahan-nahan kemarahan, mungkin sebentar saja menahannya dan langsung
menghilangkannya. Orang sabar selalu punya sumber daya untuk memadamkan api
kemarahan.
Bertahun-tahun saya berusaha mengumpulkan kekuatan
kesabaran, kekuatan untuk memadamkan api kemarahan. Bukan hal yang mudah bagi
saya yang sejak kecil sudah terbiasa hidup dengan kemarahan, tapi saya ingin bahagia
dan membahagiakan. Menurut saya, dan sangat meyakininya, selama ada kemarahan
tidak akan ada kebahagiaan. Saya yakin saya bisa karena orang sabar bukanlah
mitos. Orang sabar bukanlah cerita legenda belaka. Orang sabar itu nyata, ada
di sekeliling kita, dan kita bisa menjadi salah satu dari mereka.
Saya mau, berniat kuat menjadi orang sabar dan ALHAMDULILLAH
sejauh ini saya berhasil berubah, dan
saya mengajak Anda...Anda mau...?
Semoga ALLOH meridloi usaha kita....
0 komentar:
Posting Komentar