Entah
sejak kapan saya suka membaca, saya tidak ingat. Mungkin sejak saya bisa
membaca, atau mungkin sebelumnya. Karena samar-samar saya ingat suka memandangi
gambar-gambar dalam salah satu majalah anak-anak, entah usia saya berapa saat
itu.
Saat
saya masih kecil kemampuan ekonomi Bapak dan Ibu tidak terlalu kuat, meskipun
tidak juga bisa dibilang lemah. Untuk mengalokasikan dana khusus kebutuhan
membaca kadang bisa kadang tidak, lebih banyak tidak bisa. Pernah kali Ibu
melangganankan kami majalah anak, tapi tidak bertahan lama. Tidak ada dana
untuk melanjutkan berlangganan.Saya sangat sedih dan merasa kehilangan saat
tidak lagi menerima majalah anak setiap minggu, seperti ada sesuatu yang
kutunggu tapi tak kunjung datang. Kami bertiga, saya dan adik-kakak, memang
selalu berebut saat majalah datang waktu masih berlangganan. Tapi sebenarnya
hanya sayalah yang benar-benar menunggu dan mengharap kehadiran majalah tiap
minggu. Hanya saya yang benar-benar menikmati membaca majalah. Maka hanya
sayalah yang sangat kecewa dan merasa kehilangan.
![]() |
gambar dari gusnardi.blogspot.com |
Sebenarnya
tidak semua majalah yang Ibu hentikan berlangganannya. Disisakan satu majalah, “Panjebar
Semangat”, majalah bahasa Jawa dan bukan majalah anak. Tapi demi memenuhi
kebutuhan, majalah itu pun saya baca sampai habis. Saya tidak begitu paham
alasan Ibu tetap mempertahankan berlangganan majalah itu, mungkin karena
harganya yang sangat murah, mungkin pula karena Ibu ingin mengenalkan dan
memperkaya kemampuan anak-anaknya terhadap bahasa Jawa yang mulai ditinggalkan.
Yang pasti hanya Ibu dan saya yang mau membaca majalah itu di rumah kami.
Diskusi tentang cerpen atau cerbung Jawa, cerita wayang, atau artikel Jawa
lainnya jadi acara saya dan Ibu yang tidak mungkin bisa diikuti oleh anggota
keluarga yang lain.
Ternyata
tradisi berlangganan majalah bahasa jawa ini sudah dimulai oleh almarhum Kakek,
ayahnya Ibu. Kakek sangat perhatian dan peduli pada perkembangan Bahasa dan
Budaya Jawa. Setiap bertemu beliau, saat saya masih kecil, Kakek selalu memberi
wejangan tentang pentingnya mempelajari atau meningkatkan kemampuan Berbudaya Jawa
khususnya Bahasa Jawa. Bahkan saya sempat segan bertemu dan berbicara dengan
beliau karena Kakek selalu mengkritik ucapan Bahasa Jawa saya sekecil-detil
kesalahannya.
Kegemaran
atau kebiasaan saya membaca majalah “Panjebar Semangat” ternyata sangat
bermanfaat bagi pelajaran Bahasa Jawa saya. Pelajaran Bahasa Jawa jadi terasa
sangat mudah. Pelajaran huruf HANACARAKA yang selalu dikeluhkan oleh hampir
semua teman-teman saya, saya rasakan mudah dan menyenangkan (sayangnya saat ini
kemampuan itu hilang). Ujian (dulu kami menyebutnya ‘ulangan’) Bahasa Jawa
adalah ujian yang saya tunggu-tunggu. Karena saya bisa menyelesaikan soal hanya
dalam sepertiga waktu yang disediakan, dan malam harinya saya tidak perlu
belajar atau mempersiapkan diri. Pernah saat ujian saya tertidur di atas lembar
jawaban ujian, karena terlalu lama menunggu selesainya ujian dan saya malas
keluar kelas bila belum ada teman yang menyelesaikan ujian. Tidur saya sangat
nyenyak sampai saya tidak menyadari saat Ibu Guru berkali-kali mendatangi
bangku saya (saya tahu dari teman-teman). Mungkin Ibu Guru heran kok ada
muridnya yang bisa tidur nyenyak saat ujian. Anehnya beliau tidak berusaha
membangunkan saya. Tidur saya sangat nyenyak sampai saya ngiler membasahi
lembar jawaban. Saat waktu ujian habis teman-teman sibuk merampungkan jawaban,
saya sibuk mengeringkan air liur pada lembar jawaban.
Beberapa
waktu yang lalu saya baru menyadari ternyata Ibu masih berlangganan “Panjebar
Semangat” setelah sekian lama saya tidak membacanya. Saya berencana
berlangganan juga, agar anak-anak saya juga membacanya.Saya ingin meneruskan
tradisi mempelajari Bahasa Jawa dan meneruskan tradisi ini kepada anak-anak
saya.
0 komentar:
Posting Komentar