Kamis, 01 September 2022

Pelayanan Prima - Empati

Belasan tahun yang lalu, di suatu siang seorang anggota tim frontliner mendatangi saya, “Pak...ada pelanggan mau bertemu Bapak langsung, nggak mau pergi sebelum ketemu Bapak...”

Saya tersenyum memandang wajah cantiknya yang tampak jengkel bercampur cemas. Sembilan belas tim frontliner memang cantik dan pintar, memenuhi kriteria 3B (Brain, Beauty, Behavior), ada di bawah tanggung jawab saya termasuk untuk menjaga emosi dan kesehatan mental mereka.

“Apa yang terjadi...?” Saya bertanya dengan tetap senyum semanis mungkin. Saya yakin senyum saya bukanlah senyum genit, semoga demikian.

Maka dia pun menjelaskan masalah yang dialami oleh pelanggan, menceritakan apa yang sudah dia sampaikan kepada pelanggan tersebut, dan sambil merengut menyampaikan kegagalannya mengatasi masalah tersebut. Masalahnya sangat rumit, dan saya juga ragu akan bisa membantu pelanggan tersebut, tapi saya harus menyelesaikannya.

“Persilakan dia masuk ke ruang VIP, saya akan segera turun menemuinya...”

Si cantik pun turun dengan wajah yang sedikit agak lega. Saya sangat memahami kegundahan hatinya. Bayangkan saja sejak pagi dia harus menerima keluhan dari puluhan pelanggan yang datang ke galery pelayanan kami. Saya harus membantunya menyelesaikan masalah, membuatnya tenang sehingga bisa menangani pelanggan yang lain dengan tetap ramah dan manis.

Saya turun dan langsung menemui pelanggan, tersenyum menyalaminya dan memperkenalkan diri. Dia seorang pria seusia saya berpakaian kemeja sederhana, tipikal pengusaha menengah. Setelah saya persilakan duduk kembali, hanya dengan bertanya  “Bagaimana Pak...Apa yang bisa saya bantu...?”, dia sudah membanjirkan keluhannya. Saya hanya mendengar dengan ekspresi yang kuat, menunjukkan bahwa saya sangat memerhatikan masalahnya. Sesekali saya mengulang kata-katanya untuk meminta kepastian.

Saat dia berhenti bicara saya bertanya mengenai beberapa hal yang kurang jelas dari ceritanya, saya harus yakin sudah menerima semua detil masalah tanpa ada potongan yang tercecer. Sambil mendengarkan, pikiran saya juga berputar mencari berbagai alternatif solusi yang bisa saya tawarkan kepadanya.

Dari uraian panjangnya, awalnya saya menyimpulkan bahwa kalau mengikuti SOP (Standard Operational Procedure) saya tidak mungkin bisa membantunya, dan itu sudah disampaikan oleh si cantik kepada saya. Saya sampaikan hal tersebut kepada pelanggan, bahwa kerugian yang dia dapatkan karena kesalahannya sendiri, tentu saja dengan cara dan bahasa yang santun.

Namun saya yakin punya sesuatu yang bisa membantunya, maka saya beri dia ruang untuk membela diri, memancing semua argumentasi darinya. Sengaja saya lakukan hal tersebut karena yakin masih ada serpihan fakta yang belum saya dapatkan dari cerita panjangnya.

Ternyata benar, setelah berdiskusi beberapa menit, saya berhasil menemukan satu fakta yang bisa menjadi celah cahaya untuk menerangi jalan keluar bagi masalahnya. Saya sampaikan kepadanya bahwa akan melakukan ikhtiar maksimal agar bisa menyelesaikan masalahnya, dan memintanya untuk berdoa. Tapi saya juga menyampaikan bahwa tingkat keberhasilan ikhtiar saya adalah 50-50, bisa berhasil bisa tidak, dan saya minta dia siap menghadapi kemungkinan terburuk.

Dia bisa menerimanya, menyalami saya “Tolong ya Pak...!”, dan pergi. Alhamdulillah masalah besar sudah terselesaikan. Selesai...? Ya iya lah...Masalahnya tadi khan pelanggan itu tidak mau pergi, dan saya berhasil membuatnya pergi tanpa mengusirnya, dan membuatnya memiliki harapan menghadapi masalah.

Mohon maaf saya tidak bisa menceritakan detil masalah yang dialami pelanggan tersebut karena sangat sensitif terhadap kepentingan perusahaan, dan juga tidak penting untuk dibahas.

Pelanggan yang datang dengan masalah karena menganggap kita bisa membantunya, dan itu harus dipenuhi dulu. Bisa menyelesaikan atau tidak, kita harus menunjukkan dengan tulus kepadanya bahwa kita siap membantu. Dengan tulus...tidak sekadar menyampaikan kata-kata yang sudah kita hapal “kami siap membantu”. Kita harus bisa meyakinkan pelanggan bahwa kita sudah menampung semua detil masalahnya, semuanya sedetil mungkin. Untuk melakukannya kita harus benar-benar menghadirkan diri seutuhnya, pikiran dan hati, di hadapan pelanggan. Kita harus mampu menampung masalahnya secara logika maupun emosi. Itulah yang disebut empati.

Apakah saya berhasil membantu pelanggan tersebut? Apa yang harus saya lakukan ketika pelanggan itu akan memberi saya imbalan yang besar untuk penyelesaian masalahnya? (bersambung)


0 komentar:

Posting Komentar