“Piye toh
Coq orang ini…Bisa-bisanya dia minta didukung di PEMILU agar bisa melakukan
perubahan…Jelas-jelas partainya adalah tiga partai terbesar perolehan suaranya
di PEMILU lalu, dan lima tahun ini partainya tidak berbuat yang significant
untuk rakyat, malah alegnya banyak yang korupsi. Kok gak malu minta dipilih
lagi…!?!?” Saya mengomentari pidato
politik seorang tokoh partai dalam promonya di televisi.
“Hehehehe
iya Pak…Nggak lucu…” Coqi terkekeh mendengar gerutuan saya.
“Politikus
itu memang pelawak-pelawak yang gak lucu Coq…”
Coqi tertarik pada politik sejak usia lima tahun,
sejak dia mulai belajar membaca. Saat itu memang sedang puncak pemilihan
presiden langsung untuk pertama kalinya. Mungkin Coqi tertarik dengan
bertebarannya banner kampanye calon presiden. Di usianya yang sangat muda itu
Coqi sudah sangat antusias mengikuti berita politik baik dengan membaca media
cetak maupun menonton televisi. Saat itu, dengan gaya khas anak-anak, dia sudah
bisa menganalisa para calon presiden dan partai-partainya. Coqi pun bercita-cita
menjadi presiden.
Pernah
saat di sekolahnya disuruh gurunya
membuat kreasi bentuk tertentu, sementara teman-temannya membuat bentuk
benda-benda yang nyata seperti rumah, pesawat, mobil dan lain-lain, Coqi
membuat bentuk yang absurd dan menyebutnya sebagai kursi DPR. Pada usia sembilan
tahun Coqi menyumbangkan uang tabungannya untuk dana kampanye salah satu calon Walikota
Malang yang dia sukai.
Bersama
dengan berjalannya waktu, Coqi semakin dewasa, minat mengamati politik tidak
berkurang tetapi cita-citanya berubah. “Nggak jadi dech Pak…Presiden itu
amanatnya sangat besar, terlalu berat”
Saat ini
Coqi menemukan sendiri bahwa dia sangat berminat menjadi journalist dan comedian,
dan memang sikapnya menunjukkan itu. Saat saya mengambil raport kenaikan kelas,
wali kelasnya menyampaikan bahwa Coqi suka menghibur guru dan teman-temannya
dengan banyolan-banyolannya. Bila tertarik pada sesuatu, seperti film atau
berita tertentu, maka Coqi akan segera melakukan penggalian data
sebanyak-banyaknya. Sambil menonton siaran ulang acara penganugerahan piala
Oscar, Coqi mampu menjelaskan tentang film
dan actor- actress yang mendapatkan piala Oscar cukup detil.
Sejak SD Coqi selalu mewakili sekolahnya mengikuti
lomba pidato agama. Coqi selalu menang di tingkat kecamatan tapi tidak pernah
menang di tingkat kota. Menurut analisa gurunya hal itu disebabkan Coqi menolak memasukkan banyak unsur-unsur banyolan
dalam pidato-ceramahnya, sedangkan juri-juri lomba pidato tingkat kota sangat
apresiatif pada pidato yang kocak atau lucu.
“Daripada
ceramah berisi banyolan mending sekalian aku melawak tapi berisi pesan-pesan
moral Pak….!”
Sampai
sekarang Coqi masih suka berdiskusi tentang politik, meskipun tidak lagi
berminat terjun ke dalamnya. Saya belum mendengar secara verbal, tapi saya
yakin dalam hatinya Coqi punya pernyataan :
“Daripada
jadi politikus yang omongannya seperti lawakan
yang tidak lucu, mending jadi pelawak yang menghibur dan mencerdaskan
penontonnya”
Semoga
Tuhan selalu menunjukkan jalan yang terbaik untuk Coqi, doa seorang bapak yang
memasrahkan masa depan anaknya kepada Yang Maha Kuasa.
0 komentar:
Posting Komentar